Selasa, 29 Maret 2011

hilter marah cuy ae...

Teori Retorika


Teori Retorika Aristoteles


Aristoteles
Aristoteles adalah murid Plato, filsuf terkenal dari zaman Yunani Kuno. Kala itu, di Yunani dikenal Kaum Sophie yang mengajarkan cara berbicara atau berorasi kepada orang-orang awam, pengacara, serta para politisi. Plato sendiri banyak menyindir perilaku Kaum Sophie ini karena menurutnya orasi yang mereka ajarkan itu miskin teori, dan terkesan dangkal.
Aristoteles berpendapat bahwa retorika itu sendiri sebenarnya bersifat netral. Maksudnya adalah orator itu sendiri bisa memiliki tujuan yang mulia atau justru hanya menyebarkan omongan yang gombal atau bahkan dusta belaka. Menurutnya, “…by using these justly one would do the greatest good, and unjustly, the greatest harm” (1991: 35). Aristoteles masih percaya bahwa moralitas adalah yang paling utama dalam retorika. Akan tetapi dia juga menyatakan bahwa retorika adalah seni. Retorika yang sukses adalah yang mampu memenuhi dua unsur, yaitu kebijaksanaan (wisdom) dan kemampuan dalam mengolah kata-kata (eloquence).
Rethoric, salah satu karya terbesar Aristoteles, banyak dilihat sebagai studi tentang psikologi khalayak yang sangat bagus. Aristoteles dinilai mampu membawa retorika menjadi sebuah ilmu, dengan cara secara sistematis menyelidiki efek dari pembicara, orasi, serta audiensnya. Orator sendiri dilihat oleh Aristoteles sebagai orang yang menggunakan pengetahuannya sebagai seni. Jadi, orasi atau retorika adalah seni berorasi.
Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai komunikasi ‘persuasif’, meskipun dia tidak menyebutkan hal ini secara tegas. Meskipun begitu, dia menekankan bahwa retorika adalah komunikasi yang sangat menghindari metode yang kohersif.
Aristoteles kemudian menyebutkan tentang klasifikasi tiga kondisi audiens dalam studi retorika. Klasifikasi yang pertama adalah courtroom speaking, yaitu yang dicontohkan dengan situasi ketika hakim sedang menimbang untuk memutuskan tersangka bersalah atau tidak bersalah dalam suatu sidang peradilan. Ketika seorang Penuntut dan Pembela beradu argumentasi dalam persidangan tersebut, maka keduanya telah melakukan judicial rethoric.
Yang kedua adalah political speaking, yang bertujuan untuk mempengaruhi legislator atau pemilih untuk ikut serta dalam pilihan politik tertentu. Debat dalam kampanye termasuk dalam kategori ini. Sedangkan yang ketiga adalah ceremonial speaking, di mana yang dilakukan adalah upaya mendapatkan sanjungan atau menyalahkan pihak lain guna mendapatkan perhatian dari khalayak. Mungkin yang masuk kategori ini semacam tabligh akbar atau sejenisnya.
Karena muridnya terbiasa dengan metode dialectic Socrates, yaitu metode diskusi tanya-jawab, one-on-one discussion, maka Aristoteles menyebutkan retorika adalah kebalikannya. Retorika adalah diksusi dari satu orang kepada banyak orang. Jika dialectic adalah upaya untuk mencari kebenaran, maka retorika mencoba menunjukkan kebenaran yang telah diketemukan sebelumnya. Dialectic menjawab pertanyaan filosofis yang umum, retorika hanya fokus pada satu hal saja. Dialectic berurusan dengan kepastian, sedang retorika berurusan dengan probabilitas (kemungkinan). Menurutnya, retorika adalah seni untuk mengungkapkan suatu kebenaran kepada khalayak yang belum yakin sepenuhnya terhadap kebenaran tersebut, dengan cara yang paling cocok atau sesuai.
Menurut Aristoteles, kualitas persuasi dari retorika bergantung kepada tiga aspek pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosional (pathos). Pembuktian logika berangkat dari argumentasi pembicara atau orator itu sendiri, pembuktian etis dilihat dari bagaimana karakter dari orator terungkap melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam orasi, dan pembuktian emosional dapat dirasakan dari bagaimana transmisi perasaan dari orator mampu tersampaikan kepada khalayaknya.
Aristoteles mengutarakan tentang dua konsep pembuktian logis (logical proof), yakni enthymeme dan example (contoh). Enthymeme sendiri adalah semacam silogisme yang belum sempurna. Berikut ini contohnya:
Premis mayor : Semua manusia memiliki derajat yang sama
Premis minor : Saya adalah manusia
Konklusi : Maka saya memiliki derajat yang sama
Dalam entymeme, biasanya hanya menggunakan premis “semua manusia memiliki derajat yang sama dengan manusia yang lain…..Saya memiliki derajat yang sama”, tanpa perlu menggunakan premis “saya adalah manusia”.
Entymeme ini digunakan dengan tujuan agar khalayak menggunakan kerangka logika tertentu, sehingga mereka semacam diberikan ‘ruang’ untuk menafsirkan premis yang digunakan dalam silogisme yang dimaksud oleh orator tadi. Dengan memberikan ‘ruang’ tadi pada dasarnya khalayak digiring untuk menggunakan cara berpikir yang sama dengan apa yang dipikirkan oleh orator. Sejauh orasi yang digunakan dapat masuk ke dalam logika khalayak tadi, maka pembuktian logis dari orasi yang dilakukan akan terasa cukup efektif.
Enthymeme kemudian diperkuat dengan example atau contoh. Jika enthymeme digunakan sebagai pembentuk logika atau kerangka berpikir, maka contoh dipakai untuk memperkuat pembuktian dengan detail contoh-contoh dari pemikiran yang dimaksudkan sebelumnya.
Pembuktian etis (ethical proof) menurut Aristoteles berpulang kepada kredibilitas dari orator tersebut. Retorika yang baik tidak hanya mengandalkan kata-kata yang baik semata, melainkan bahwa oratornya sendiri juga harus ‘terlihat’ memiliki kredibilitas. Karena seringkali khalayak sudah cukup terpesona kepada seseorang, bahkan sebelum orang tersebut berpidato atau berorasi. Sebelum kata-kata keluar dari mulut orang tersebut.
Dalam Rethoric, Aristoteles menyebutkan tentang tiga sumber kredibilitas yang baik, yaitu intelligence, character, dan goodwill.
Intelligence atau kecerdasan lebih kepada persoalan kebijaksanaan dan kemampuan dalam berbagi nilai atau kepercayaan antara orator dengan khalayaknya. Maksudnya adalah khalayak seringkali menilai bahwa orator tersebut ‘cerdas’ adalah sejauh mana mereka sepakat atau memiliki kesamaan pemikiran, cara berpikir, atau ide dengan orator tersebut. Orator yang cerdas, oleh karenanya mampu menyesuaikan diri atau mampu membaca cara berpikir khalayaknya, untuk kemudian disesuaikan dengan cara berpikirnya.
Character lebih kepada citra orator sebagai orang yang baik dan orang yang jujur. Jika seorang orator mampu memiliki citra sebagai orang yang baik dan jujur, apapun kata-kata yang disampaikan dalam orasinya maka khalayak cenderung lebih mudah untuk percaya. Begitu pula sebaliknya, jika orator yang bersangkutan memiliki citra yang kurang baik maka sebaik apapun kata-kata yang disampaikannya khalayak sulit untuk percaya.
Good will atau niat baik, adalah penilaian positif yang coba ditularkan oleh orator kepada khalayaknya. Seorang orator mungkin mampu memperlihatkan kecerdasannya, menunjukkan karakter kepribadiannya, akan tetapi belum tentu mampu ‘menyentuh hati’ khalayaknya. Niat baik ini biasanya dapat dirasakan oleh hati khalayak.
Pembuktian emosional (emotional proof). Di sini orator dituntut untuk mampu menyesuaikan suasana emosional yang ingin dicapai dalam sebuah orasi. Orator yang cerdas mampu mengendalikan suasana emosi yang diinginkan, bukan apa yang diinginkan khalayak, akan tetapi lebih kepada apa yang diinginkan oleh orator itu sendiri. Dengan mengetahui karakteristik khalayak, pemahaman yang mendalam terhadap berbagai macam karakter emosi, diharapkan retorika yang dilakukan dapat berjalan efektif.
Walaupun banyak ilmuwan menyatakan bahwa sebenarnya pemikiran Aristoteles tentang retorika itu rumit, mereka kemudian menyederhanakan pemikiran tersebut ke dalam empat konsep tentang bagaimana mengukur kualitas seorang orator yang baik. Keempat hal tersebut adalah bagaimana menciptakan argumentasi (invention), menyusun bahan-bahan atau materi argumentasi (arrangement), pemilihan bahasa (style), dan bagaimana teknik penyampaiannya (tecniques of delivery).
Untuk menciptakan argumentasi yang baik, orator dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas, kemampuan penalaran dan logika yang baik dalam berbagai macam bentuk pembicaraan. Penguasaan terhadap berbagai macam topik, isu, informasi, data, dan sejenisnya, dapat dijadikan sebagai memori yang setiap saat mampu dibentuk menjadi argumentasi ketika orasi dilakukan. Semakin banyak memori yang dimiliki maka akan semakin mudah untuk menciptakan argumentasi yang baik.
Aristoteles mengingatkan tentang pentingnya penyusunan atau pentahapan argumentasi itu sendiri. Menurutnya, pada awal-awal orasi baiknya adalah sebagai upaya untuk menarik perhatian dari khalayak, menjaga kredibilitas, dan kemudian memperjelas maksud atau tujuan dari pembicaraan atau orasi itu sendiri. Yang terakhir adalah konklusi, yang sebaiknya adalah mengupayakan bagaimana khalayak akan selalu mengingat apa-apa yang telah kita katakan, dan kita meninggalkan khalayak dengan citra yang positif tentang diri kita dan ide-ide yang telah kita sampaikan kepada mereka.
Style atau gaya bicara adalah tentang bagaimana kemapuan seorang orator menggunakan cara atau gaya bicara tertentu. Gaya bicara ini ibarat karakteristik si orator itu sendiri. Ada orator yang bagus karena dinilai memiliki gaya orasi yang unik, menarik, dan bukan tentang kata-kata apa yang disampaikannya.
Style ini juga terkait erat dengan cara penyampaian kata-kata atau argumentasi kepada khalayak. Cara penyampaian yang menarik adalah hal yang penting dalam sebuah orasi. Karena seringkali kefektifan orasi dilihat dari sejauh mana khalayak menilai cara bicara atau cara orasi orang tersebut menarik atau tidak. Mengenai apa yang disampaikannnya itu menjadi hal yang berikutnya.
Para pengkritik terhadap teori retorika Aristoteles ini mengatakan bahwa kesalahan terbesar di sini adalah audiens atau khalayak dianggap pasif. Orator menurut Aristoteles dianggap akan selalu mampu menyampaikan apa-apa yang dimaksudkannya kepada khalayak sejauh mereka mengikuti anjuran-anjuran Aristoteles tersebut. Ada faktor yang penting yang terlupa oleh Aristoteles, yaitu situasi. Padahal faktor ini adalah salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam praktek retorika itu sendiri.
Di luar itu semua, teori retorika ini memang banyak dinilai memadai jika dilihat sebagai landasan dalam studi dan praktek retorika. Tentunya seiring masa perlu dilakukan beragai macam penyesuaian dan semacamnya. Akan tetapi yang terpenting dari itu semua bahwa retorika atau komunikasi secama umum pada dasarnya adalah seni, sehingga tidak akan mampu untuk terbakukan dalam bentuk-bentuk aturan apapun. Seringnya, semuanya berpulang kepada manusia itu sendiri.










RUANG MULTIMEDIA DALAM PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN



RUANG MULTIMEDIA DALAM
PENINGKATAN MUTU PEMBELAJARAN




                                                      



                                                                                     





OLEH

RAHMADI
NIM. D1C109043







JURUSAN ILMU KOMUNIKASI






FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
 UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2010



KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Penggunaan Ruang Multimedia dalam Pembelajaran”. Makalah ini dibuat sebagai pelengkap pembelajaran Bahasa Indonesia. Terima kasih yang setulusnya saya sampaikan kepada semua pihak yang telah banyak membantu saya dalam menambah pengetahuan serta melatih keterampilan tentang pembelajaran berbasis ICT (Information Comunication Technologi).
Saya menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari kuantitas maupun kualitas, saran yang membangun dari berbagai pihak sangat saya harapkan demi perbaikan.





Banjarmasin, 21 November 2009

Penulis









1.1 Latar Belakang
Perkembangan teknologi informasi telah menjadi pemicu terhadap upaya perubahan sistem pembelajaran di sekolah. Upaya untuk melepaskan diri dari kungkungan pembelajaran konvensional yang memaksa anak untuk mengikuti pembelajaran yang tidak menarik, dan membosankan.
Kondisi sekolah, senantiasa dituntut untuk terus-menerus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat, sehingga sekolah yang tetap berkutat pada instruksional kurikulum hanya akan membuat peserta didik gagap melihat realitas yang mengepungnya.
Pemanfaatan teknologi merupakan kebutuhan mutlak dalam dunia pendidikan (persekolahan) sehingga sekolah benar-benar menjadi ruang belajar dan tempat siswa mengembangkan kemampuannya secara optimal, dan nantinya mampu berinteraksi ke tangah-tengah masyarakatnya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mampu untuk memiliki teknologi penunjang sehingga bisa menjadikannya sebagai media pembelajaran yang menarik, interaktif, dan mampu mengembangkan kecakapan personal secara optimal, baik kecakapan, kognitif, afektif, psikomotrik, emosional dan spiritualnya.
1.2 Identifikasi
Tidak adanya motivasi mengakibatkan munculnya kebosanan akibat pembelajaran yang saat ini terkesan monoton. Sehingga tercipta metode belajar yang lebih menarik dan efektif. Dengan adanya ruang multimedia yang digunakan sebagai fasilitas pembelajaran, diharapkan dapat menumbuhkan motivasi siswa dalam proses pembelajaran.
Dengan rendahnya motivasi dan terbatasnya fasilitas dapat mengakibatkan lambannya peningkatan mutu pendidikan.
1.3 Rumusan masalah
Pembelajaran di sekolah bertujuan untuk membangun pengetahuan siswa dalam bidang studi atau keterampilan tertentu. Pengetahuan itu bisa diperoleh dengan berbagai cara, namun apapun cara yang dilakukan oleh guru atau pembimbing tidak lain hanyalah untuk “membelajarkan siswa” baik di dalam maupun di luar kelas. Guru perlu cara yang mampu menggugah motivasi siswa untuk belajar, karena guru dewasa ini bukanlah satu-satunya objek pembelajaran, namun perannya lebih besar sebagai mediator transfer ilmu. Berkaca dari realita yang ada di masyarakat umum, sebagian anak perlu diperintah untuk belajar dan lebih suka menonton televisi. Jawabannya karena motivasi. Penyajian materi yang disajikan melalui televisi lebih menarik daripada penyajian materi di dalam kelas oleh guru. Penggunaan ruang multimedia merupakan pilihan yang sangat populer saat ini sebagai wujud implementasi e-learning. Guru menggunakan fasilitas komputer/laptop dan LCD sebagai alat bantu untuk melaksanakan pembelajaran dan menyampaikan materi di kelas. Materi disusun dalam format presentasi atau menggunakan pemutaran video yang berkaitan dengan materi.
Perkembangan tehnologi informasi dan komunikasi telah memberikan pergeseran dalam pembelajaran, misalnya interaksi guru dan siswa tidak harus dilaksanakan dengan tatap muka, tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media yang tersedia dalam laboratorium multimedia. Perubahan demi perubahan, khususnya dalam bidang teknologi informasi telah mengantarkan manusia memasuki era digital.
Ruang multimedia yang dimaksudkan oleh penulis adalah ruangan yang didalamnya terdapat beberapa komputer yang cukup representatif untuk seluruh siswa dalam satu kelas dan sudah disetting dengan LAN (Lokal Area Network), LCD untuk menayangkan presentasi guru, headphone di tiap komputer untuk mendengarkan suara guru dari komputer induk (server), mikrophone dan sound sistem yang berfungsi sebagai pengeras suara sehingga dapat terdengar oleh seluruh siswa dalam kelas, sambungan internet, printer dan AC (Air Conditioning) jika memungkinkan. Untuk ini memang dibutuhkan investasi awal yang cukup besar baik dari penyediaan sarana komputer/laptop, LCD, headphone dan lain-lain, beban operasional yang semakin besar serta biaya perawatan yang juga mahal. Selain itu dibutuhkan kemauan serta kemampuan dari para tenaga pendidikan untuk melakukan renovasi pembelajaran konvensional menjadi pembelajaran yang berbasis ICT (Information Cmunication Technologi) juga siswa sebagai subjek pembelajar yang mampu/terampil menggunakan sarana yang tersedia. Ruang multimedia dapat digunakan untuk semua bidang studi baik untuk menyampaikan materi melalui audio-visual (layar LCD), audio saja (headphone) yang biasanya digunakan untuk program bahasa, menyampaikan tugas/ulangan kepada siswa. Mengakses materi pelajaran melalui internet atau chating dengan siswa lain di dalam ruangan itu yang tentunya lebih menarik bagi siswa dan lebih memudahkan bagi guru untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
1.4 Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat penulis ditujukan untuk :
1. Memudahkan siswa dalam menyerap dan memahami pelajaran yang disampaikan oleh pengajar.
2. Meningkatkan kualitas pembelajaran berbasis ICT (Information Communication Technology)
3. Memberikan pilihan metode baru bagi pengajar dalam menyampaikan materi.


BAB II
RUANG MULTIMEDIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN

            Ruang multimedia adalah suatu ruangan dimana terdapat berbagai peralatan komunikasi elektronik guna menunjang proses pembelajaran. Peningkatan mutu pembelajaran adalah bertambahnya kualitas penyampaian materi pendidikan sehingga siswa lebih mudah dalam menangkapnya.
Standar Internasional pembelajaran berbasis ICT dapat dilaksanakan, salah satunya dengan penggunaan ruang multimedia yang tersedia di sekolah. Ruang multimedia yang dimaksudkan adalah ruangan yang di dalamnya terdapat beberapa komputer yang cukup representatif untuk seluruh siswa dalam satu kelas dan sudah disetting dengan LAN (Local Area Network), LCD untuk menayangkan presentasi guru, headphone di tiap komputer untuk mendengarkan suara guru dari komputer induk, mikrophone dan sound sistem yang berfungsi sebagai pengeras suara sehingga dapat terdengar oleh seluruh siswa dalam kelas, sambungan internet, printer, AC (Air Conditioning).
Dalam proses pembelajaran menggunakan ruang multimedia, bentuk-bentuk informasi yang dapat ditampilkan berupa kata-kata, gambar, video, musik, angka, atau tulisan tangan. Bagi komputer, bentuk informasi tersebut, semuanya diolah dari data digital. Sehingga memudahkan siswa menyerap dan mengingat materi-materi yang disampaikan dalam proses pembalajaran.
Adapun komponen yang perlu dipersiapkan untuk melaksanakan pembelajaran berbasis ICT dengan menggunakan ruang multimedia antara lain:
• Sarana elektronik (komputer/laptop, LCD, headphone dan lain-lain)
• Kemauan siswa dan guru untuk melakukan renovasi pembelajaran
• Sumber daya manusia (guru dan siswa)
• Kesiapan sekolah untuk menanggung beban operasional dan biaya perawatan.

Jenis kegiatan/tugas guru yang dapat dilaksanakan dengan menggunakan ruang multimedia antara lain:
1. Menyampaikan materi (presentasi). Salah satu bentuk tugas yang paling sederhana yang dapat dilakukan adalah menyampaikan materi pelajaran menggunakan media komputer/laptop dan LCD. Materi disampaikan kepada siswa dengan menayangkan materi pada layar dan siswa dapat mengikuti bersama-sama. Keterampilan yang dapat digunakan yaitu dengan mengolah materi menggunakan program MS Power Point. Kemudian dapat dikembangkan lagi menggunakan program Windows Movie Maker, Ulead VideoStudio dan lain-lain. Bahkan dengan menayangkan video yang berhubungan dengan materi juga bisa dilakukan tanpa guru.
2. Memutar lagu/musik disela-sela kegiatan belajar siswa, misalnya saat siswa mengakses materi pelajaran melalui internet.
3. Memutar video yang berkaitan dengan materi pembelajaran
4. Menampilkan gambar yang berkaitan dengan materi pembelajaran.
5. Mengirim informasi/pesan dari guru (komputer server) ke siswa (komputer client).
6. Mengirim tugas/ulangan kepada siswa dan mengumpulkannya kembali melalui komputer server.
7. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengakses materi melalui internet.
8. Menggunakan ruang ini sebagai laboratorium bahasa karena di dalamnya terdapat headphone yang disambungkan dengan tiap computer dan bisa mendengar suara guru dari computer server.
Upaya membuat anak betah belajar disekolah dengan memanfaatkan teknologi multimedia, merupakan kebutuhan, sehingga sekolah tidak lagi menjadi ruangan yang menakutkan dengan berbagai tugas dan ancaman yang justru mengkooptasi kemampuan atau potensi dalam diri siswa. Untuk itu, peran serta masyarakat dan orangtua , komite sekolah merupakan partner yang dapat merencanakan dan memajukan sekolah.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ruang multimedia sangat berperan penting dalam peningkatan mutu pembelajaran di suatu sekolah. Dengan adanya ruangan multimedia tersebut, proses pembelajaran akan menjadi lebih praktis, inovatif, dan efektif.
3.2 Saran
Bagi siswa, guru dan pihak lain yang berkaitan dengan proses pembelajaran diharapkan mampu menerapkan dan memanfaatkan ruang multimedia sebagai metode pilihan baru dalam menyampaikan materi demi terciptanya peningkatan mutu pendidikan.

Dasar dasar managemet


DASAR-DASAR MANAJEMEN



A.  Latar Belakang

Studi mengenai dasar-dasar manajemen dapat dimulai dengan menyajikan berbagai konsepsi dasar sebagai kerangka referensi ilmiah dan praktis dalam usaha memahami logika pikir manajemen.
Titik beratnya akan diletakkan pada arti manajemen, perkembangan historisnya, pengaruh filsafat dan nilai-nilai manajer serta efek dari faktor lingkungan yang melingkupinya, baik yang bersifat intern maupun ekstern.
Melalui orientasi tersebut pandangan akan lebih difokuskan pada pemahaman manajemen dalam sudut pandang aktivitas manajer sebagai sebuah proses yang khas melalui pendekatan yang berbeda.
A.  Pengertian Manajemen

Pada kamus Webster disebutkan, bahwa Manajemen berasal dari kata Manage (Maneggio, Italia) yang dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia kata Manage berarti : mengurus, memimpin, mencapai dan memerintah.
Berdasarkan pengertian secara etimologis itu munculah konsep manajemen yang secara terminologis menurut para ahli disebut sebagai The act or art of managing, conducting, directing and controlling (Manajemen merupakan suatu kegiatan atau seni dalam mengurus (memimpin, mencapai dan memerintah), membimbing, mengarahkan dan mengendalikan (Lawrence A. Appley dalam Zailani & Antowijoyo, 1989:1).
Dari pembatasan tersebut kemudian muncul berbagai definisi tentang manajemen. Diantaranya, adalah Mery Parker Follet yang mendefinisikan manajemen sebagai seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Sedangkan Stoner mendefinisikan manajemen sebagai suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan berbagai berbagai sumber daya organisasi lainya untuk mencapai tujuan organisasi yang diinginkan (Handoko, Manajemen, 1991:8).
Definisi manajemen seperti yang dikemukakan oleh Stoner tersebut pada dasarnya sependapat dengan mendefiniskan manajemen yang dikemukakan oleh G. R. Tery yang menyatakan, bahwa manajemen sebagai suatu tindakan untuk melaksanakan sesuatu melalui orang lain. Artinya tindakan tersebut melalui perencanaan dan pengorganisasian, pengarahan dan penggerakan serta koordinasi dan pengawasan.
Di pihak lain ada John D. Millet yang mendefiniskan manajemen sebagai suatu proses pembimbingan, pengarahan dan pemberian fasilitas terhadap pekerjaan orang-orang yang terkoordinasi dalam kelompok-kelompok formal untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Definisi manajemen menurut J. D. Millet tersebut pada prinsipnya sama dengan definisi manajemen yang dikemukakan oleh Harold Koontz dan John M. Fifner.
Definisi lainya mungkin mencakup daftar kegiatan yang lebih banyak lagi sesuai dengan berbagai kebaikan yang diinginkan dengan menitik beratkan pada aspek-aspek penting dari manajemen.

Singkatnya manajemen akan selalu berhubungan dengan segenap usaha untuk mencapai tujuan yang ditelah ditetapkan dan diharapkan melalui orang lain berdasarkan target terhadap sasaran-sasaran tertentu dengan menggunakan strategi yang dibuat berdasarkan prinsip-prinsip manajemen ilmiah dan praktis serta dengan memamfaatkan berbagai fasilitas dan sumber daya yang tersedia dengan sebaik-baiknya.


B.   Konsep Dasar Manajemen

Konsep dasar manajemen meliputi :

1.    Identitas manajemen :
· Sebagai suatu hal yang ada karena dapat dipelajari,
· Sebagai suatu proses karena umumnya meliputi kegiatan : perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, penggerakan dan pengawasan secara berkelanjutan,
· Dapat diketahui hanya dari hasilnya saja (intangible),
· Sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan (hasil).

2.    Arti pentingnya manajemen :
§ Tak akan ada suatu organisasi yang berhasil dalam mencapai tujuanya tampa menggunakan manajemen secara efektif dan efesien,
§ Manajemen dapat memberikan nilai efektifitas bagi setiap usaha-usaha manusia,
§ Manajemen dapat menjamin pencapaian hasil usaha yang maksimal.

3.    Prinsip Manajemen :
o Berguna bagi para manajer dalam usaha menghindari berbagai kesalahan umum dalam pekerjaanya,
o Bersifat fleksibel sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang dalam lingkungan organisasi.

4.    Sasaran manajemen :
Sasaran manajemen sangat penting oleh karena itu harus dibuat dengan jelas dan tegas karena jika tidak (kurang) jelasnya maka akan mempersulit tugas-tugas manajer.

C.   Kesimpulan Pengertian Manajemen

Dari beberapa pengertian dan definisi yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan, bahwa manajemen itu meliputi hal-hal sebagai berikut :
1.    Sebagai pekerjaan pimpinan,
2.    Ada tujuan yang ingin dicapai,
3.    Pencapaian tujuan dilakukan dengan orang lain,
4.    Setiap kegiatanya selalu menggunakan cara berpikir ilmiah dan praktis (prinsip-prinsip manajemen) dengan dukungan berbagai sumberdaya yang tersedia,
5.    Pencapaian tujuan dilakukan dengan cara seefektif dan seefesien mungkin.

Dari kesimpulan tersebut secara singkat pengertian manajemen dapat digambarkan sebagai :


 
















Lingkungan Eksternal





(Handoko, 1991:10).
HAKEKAT MANAJEMEN

Jika manajemen merupakan suatu Genus maka Manajemen Dalam Pemerintahan dapat dikatakan sebagai suatu Spesiesnya. Artinya manajemen dalam pemerintahan sebagai ilmu terapan dari ilmu manajemen dalam lingkungan aparatur pemerintahan (negara) baik dalam arti sempit (lembaga eksekutif) maupun dalam arti luas (lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif) mulai dari tingkat pusat sampai daerah.

Penjelasan tersebut menunjukan, bahwa uraian tentang manajemen khususnya manajemen dalam pemerintahan akan menyentuh pula wilayah administrasi karena antara keduanya walaupun dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan.

A.   Pengertian Administrasi

Pengertian administrasi dapat dilihat secara sempit maupun luas.
Secara sempit administrasi (administratie dalam bahasa Belanda dan clerical work dalam bahasa Inggris) diartikan sebagai ketatausahaan, seperti kegiatan kearsipan, surat-menyurat, kerumah-tanggaan dan lainya. Pada pengertian ini adminitrasi dianggap sebagai bagian (aspek) dari manajemen.
Secara luas administrasi diartikan sebagai “tindakan tertentu yang diambil dalam usaha mencapai tujuan yang telah disadari” (Fritz Morstein Marx dalam Siagian, Manajemen Dalam Pemerintahan, 1982:10). 

Para ahli umumnya sepakat, bahwa tindakan tersebut sebagai wujud kerja sama dari dua orang lebih yang dipandang sebagai unsur utama administrasi. Sedangkan unsur lainya, adalah :
1.     Manusia dua orang lebih yang menciptakan, melaksanakan dan menggunakanya untuk mencapai tujuanya,
2.     Tujuan sebagai komitmen yang menyatukan tindakan,
3.     Tugas (kegiatan) sebagai wujud dari adanya pembagian tugas,
4.     Sarana dan prasarana.

Semakin sedikit jumlah orang yang terlibat, akan semakin sederhana tujuan yang hendak dicapai. Semakin sederhana tugas-tugas yang hendak dilaksanakanakan semakin sederhana pula peralatan dan perlengkapan yang diperlukan.
B.   Kriteria Pokok Administrasi

1.     Rasionalitas, karena setiap tindakan kerjasama untuk mencapai tujuan itu akan selalu didasarkan pada pertimbangan akal sehat (logis dan objektif).
2.     Efektivitas, sebagai usaha untuk mencapai tujuan yang diharapkan semaksimal mungkin. Seorang manajer yang efektif berarti memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan tujuan, pekerjaan, metode dan peralatan yang tepat guna mencapai tujuan.
3.     Efesiensi, untuk mencapai efektivitas dengan pengorbanan yang seminimal mungkin. Jadi sebagai perbandingan yang terbaik antara hasil yang dicapai dengan pengorbanan yang dikeluarkan. Seorang manajer yang efisien memiliki kemampuan untuk memperhitungkan secara cermat bagaimana menghasilkan keluaran yang lebih tinggi (produktivitas) dibanding masukan yang digunakan (tenaga kerja, bahan, uang, peralatan dan waktu).

Efektivitas, adalah melakukan pekerjaan yang benar (doing the right thing) dan efesiensi, adalah melakukan pekerjaan dengan benar (doing things right). Jadi yang terpenting bagi para manajer, adalah bagaimana menemukan pekerjaan yang benar untuk dilakukan dan memusatkan sumber daya dan usaha pada pekerjaan tersebut bukan melakukan pekerjaan dengan benar (Feter F. Drucker dalam Handoko, 1991:7).

Apabila seorang manajer (pimpinan) mempunyai pengetahuan dasar manajemen dan mengetahui cara menerapkanya pada situasi yang ada maka akan memiliki kemampuan untuk melakukan fungsi-fungsi manajerial dengan efesien dan efektif.

Sehubungan dengan penjelasan itu, Charles Beard mengatakan, bahwa “di masa depan tiada masalah yang lebih penting daripada masalah administrasi” (Siagian, 1982:13). Artinya maju mundurnya sebuah pemerintahan akan sangat ditentukan oleh administrasinya sedangkan administrasi itu sendiri sangat ditentukan oleh orang-orang yang melaksanakanya dengan bekal dasar kemampuan manajemen yang baik. Sehingga sangat beralasan bila manajemen dapat dipandang sebagai inti administrasi (aspek pokok administrasi) di samping sebagai wadah administrasi dan manajemen (Albert Lipawsky dalam Siagian, 1982:17).

C.   Seni dan Ilmu Manajemen

Manajemen, adalah suatu fenomena sosial yang telah ada sejak adanya seseorang menggunakan orang lain untuk memenuhi keinginanya, dalam hal ini manajemen, adalah seni. Seni merupakan suatu keterampilan seseorang untuk mencapai hasil nyata sesuai dengan yang diharapkan. Jadi hakekat seni, adalah suatu keberhasilan yang nyata dan baik walaupun sifatnya relatif (tergantung pada orang, waktu, tempat dan keadaan).

Dewasa ini manajemen juga telah dipandang sebagai sebuah ilmu karena telah dapat memenuhi kaidah-kaidah keilmuan, yaitu dapat diuraikan secara sistematis, mengandung prinsip, dalil, rumus, hukum dan teori yang diperoleh dari hasil pengalaman, pengamatan, pemikiran dan penelitian secara objektif, universal serta dapat dibuktikan kebenaranya berdasarkan kenyataan yang ada. Artinya ilmu, adalah sesuatu yang dapat dipelajari dan diajarkan sedangkan hakekat ilmu, adalah sebagai suatu kenyataan yang objektif, logis dan universal.

Oleh sebab itu betapapun majunya manajemen sebagai suatu ilmu sifat seninya tidak mungkin hilang, manajemen akan tetap selaku “ilmu yang berseni (artistic science)” disamping “seni yang ilmiah (scientific art)”.

Orang memimpin apa saja asal tahu apa yang diperlukan dan dapat memenuhinya sehingga akan menjadi seorang pemimpin yang baik. Seseorang yang memimpin usaha swasta dan atau pemerintahan hanya berbeda dalam lingkupnya saja tetapi dalam banyak hal sama.


 










Manajemen atas dasar kerangka ilmu pengetahuan yang sistematis (Handoko, 1991:6).
D.   Sejarah Manajemen Sebagai Ilmu

Organisasi usaha yang diarahkan oleh beberapa orang dan bertanggung jawab atas perencanaan, pengorganisasian, pemimpin, dan pengendalian kegiatan telah ada sejak ribuan tahun lalu. Piramida Mesir serta Tembok Besar Cina merupakan bukti nyata bahwa proyek yang ukurannya luar biasa besar, telah menggunakan  puluhan ribu manusia, telah dilaksanakan jauh sebelum zaman modern. Siapa yang memberitahukan masing-masing pekerjaan dan apa yang harus dilakukan?

Jawabanya, adalah manajemen tanpa mempedulikan apa sebutan para manajer saat itu, seseorang harus merencanakan apa yang perlu dilakukan, mengorganisasikan manusia serta bahan untuk melaksanakannya, memimpin dan mengarahkan para pekerja, dan menegakan pengendalian tertentu guna menjamin bahwa segala sesuatunya dikerjakan menurut rencana.

Praktek manajemen lainnya dapat disaksikan selama tahun 1400-an di kota Venesia, Italia, sebuah pusat penting perekonomian dan perdagangan. Penduduk Venesia mengembangkan suatu bentuk awal bisnis dan terlihat dalam banyak kegiatan yang sekarang lazim bagi organisasi, misalnya jalur perakitan yang membakukan produksi, system penyimpan dan pergudangan untuk memantau isinya, fungsi personalia (pengelolaan sumber daya manusia), yang dibutuhkan untuk mengelola angkatan kerja, dan suatu system akunting yang mencatat pendapatan dan biaya.

Contoh dari masa lalu ini memperlihatkan bahwa organisasi dan manajemen telah ada dan dipraktekan selama ribuan tahun lalu. Namun baru pada beberapa ratus tahun yang lalu terutama pada abad ke 20 manajemen mengalami penyelidikan secara sistematis, menghimpun kumpulan pengetahuan yang sama dan menjadi sebuah disiplin ilmu yang diformat untuk dipelajari. Dua peristiwa sejarah yang penting telah pula memainkan suatu peran dalam memajukan kajian manajemen.

1.     Pada tahun 1776, Adam Smith menerbitkan sebuah doktrin ekonomi klasik: the Wealth of National, dia mengemukakan keuntungan-keuntungan ekonomis yang akan diperoleh organisasi dan masyarakat dengan pembagian kerja. Sebagai contoh Smith mengatakan, bahwa jika sepuluh orang pada pabrik peniti telah melakukan pekerjaan khususnya masing-masing maka akan bisa menghasilkan kurang lebih 48.000 peniti sehari. Namun seandainya setiap orang bekerja sendiri mulai dari awal proses sampai akhir proses untuk menghasilkan peniti sehari maka sudah hebat bila mereka mampu menghasilkan sepuluh peniti sehari. Kesimpulan Smith, bahwa pembagian kerja jelas bisa meningkatkan produktivitas dengan meningkatkan ketrampilan dan menghemat waktu yang lazimnya hilang dalam pergatian tugas serta dengan menciptakan berbagai mesin dan penemuan yang menghemat tenaga kerja.
2.     Revolusi Industri dengan memamfaatkan tenaga mesin sehingga lebih ekonomis untuk memproduksi barang secara massal. Berbagai pabrik besar ini jelas memerlukan keterampilan manajemen terutama untuk :
a.      Meramal permintaaan.
b.     Menjamin kecukupan banyak bahan mentah yang siap untuk membuat produk-produk.
c.     Memberi tugas-tugas kepada orang-orang untuk mengarahkan kegiatan sehari-hari.
d.     Mengkoordinasikan berbagai macam pekerjaan, dan menjamin agar tetap berada dalam kondisi baik.

Selanjutnya perkembangan teori-teori manajemen telah dicirikan oleh berbagai macam pendapat tentang apa yang harus dilakukan para manajer dan bagaimana harus mengerjakannya. Para pendukung manajemen ilmiah dan para ahli teori adminitrasi umum disebut sebagai teori klasik sebab tulisan mereka menentukan kerangka kerja bagi banyak ide-ide sekarang ini mengenai manajemen.

Manajemen Tradisional (Art Management), sebagai suatu sistem (aliran) kepemimpinan yang mendasarkan cara kerjanya secara tradisional (turun-temurun). Aliran ini berpandangan, bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin apabila dia keturunan seorang pemimpin (pemimpin sebagai suatu warisan). Selain itu ada juga yang berpandangan, bahwa seseorang menjadi pemimpin karena memiliki sifat yang lebih menonjol di dalam kelompoknya, seperti keberanianya, kewibawaanya maupun aktivitasnya.
3.     Manajemen sebagai ilmu (scientific management), mulai dikenal sejak munculnya beberapa pelopor dalam  manajemen, diantaranya yaitu :
a.      Tulisan Charles Babbage di Inggris tahun 1832 yang berjudul “The Economy of Manufacture” sebagai sebuah laporan hasil penelitian tentang “Time Study” pada pabrik peniti. Tulisan ini pada dasarnya menekankan arti pentingnya efesiensi waktu bagi para pekerja dan jumlah biaya yang pasti dikeluarkan dalam setiap proses produksi. Namun sangat disayangkan tulisan ini pada waktu itu belum mendapat sambutan yang hangat di masyarakat.
b.     Tulisan Frederick W. Taylor tahun 1911 yang berjudul “Principles of Scientific Management” sebagai sebuah laporan hasil penelitian mengenai “Time and Motion Study” pada pabrik baja. Pada tulisanya itu Taylor berkesimpulan, bahwa “pemborosan waktu, tenaga kerja dan bahan-bahan lebih disebabkan karena pengawasan kerja yang tidak (kurang) efektif. Kesimpulan itu didasarkan atas hasil pengamatanya terhadap ukuran (tipe) dan perhitungan beberapa tindakan dari para pekerja pada waktu mengolah berbagai bahan dan bekerjanya mesin. Dari hasil penelitianya itu Taylor telah menunjukan kepada masyarakat dan pemerintahnya, bahwa :
1)     Pada beberapa contoh yang sederhana terlihat, bahwa banyak sekali tindakan manusia di dalam masyarakat yang tidak (kurang) efesien.
2)     Memberikan suatu keyakinan umum, bahwa untuk mengobati ketidak efisiensi tersebut melalui perbaikan di bidang manajemen.
3)     Membuktikan manajemen yang paling baik, adalah “Scientific Management” berdasarkan hukum, aturan dan prinsip yang jelas.

Kemudian menunjukan tugas-tugas manajer dalam setiap pelaksanaan pekerjaanya, yaitu :
1)     Selalu berusaha menggantikan cara-cara kerja yang hanya didasarkan pada pengalaman dan bakat dengan cara-cara kerja yang ilmiah.
2)     Menekankan pengembangan manajemen dengan latihan keilmuan dan pemilihan tenaga-tenaga kerja secara selektif.
3)     Mewujudkan kerjasama yang baik antara manajer dengan para pelaksana untuk mencapai efesiensi yang maksimal.
4)     Penyempurnaan pembagian kerja dan pendelegasian wewenang serta tanggung jawab melalui perencanaan dan pengorganisasian kerja yang ilmiah. Untuk ini Taylor mempunyai sistem yang disebut dengan “Functional Foremanship” dengan cara membagi pekerjaan dalam dua golongan besar, yaitu :
-   Pekerjaan yang memerlukan pemikiran, yakni bagian perencanaan (planning).
-   Pekerjaan yang bersifat teknis pelaksanaan (workshop).

 



















(Zailani & Antowijoyo, 1989:14).

Dari sistem pembagian tugas (pekerjaan) yang telah dikemukakan tersebut terlihat, bahwa Taylor menghendaki adanya spesialisasi tugas yang ditekankan pada ketepatan waktu dalam bekerja dengan rancangan persiapan sebagai berikut :
1)     Pembagian kerja disusun secara terperinci (mendetail).
2)     Seleksi para pekerja untuk memilih keahlian.
3)     Latihan-latihan untuk memperoleh kecakapan khusus secara mendalam.

Namun sistem yang dikemukakan oleh Taylor masih memiliki beberapa kelemahan diantaranya :
1)     Bagi para pekerja, perintah dari delapan orang itu bisa menimbulkan kesimpang-siuran sehingga pekerjaanya tidak bisa tuntas.
2)     Tidak ada (jarang) seseorang yang memiliki keahlian beraneka ragam.
3)     Tidak ada tanggung jawab yang jelas terhadap hasil pekerjaan  yang dilakukan oleh para pekerja.

Taylor berusaha menciptakan suatu revolusi mental baik para pekerja maupun para manajer dengan merumuskan pedoman tegas untuk memperbaiki efisiensi produksi. Taylor dapat merumuskan empat prisip manajemen dan menegaskan, bahwa dengan mengikuti prinsip itu akan dihasilkan kemakmuran baik bagi para manajer maupun para pekerja. Para pekerja akan mendapatkan upah lebih banyak dan para manajer akan mendapatkan laba lebih besar.

Keempat prinsip manajemen Taylor tersebut, adalah :
1)     Kembangkan sebuah ilmu bagi setiap unsur pekerjaan seseorang yang akan menggantikan kaidah ibu jari yang sama.
2)     Secara ilmiah pilih, latih, ajari dan kembangkan pekerja tersebut sebelum para pekerja memilih sendiri pekerjaan mereka dan melatih diri mereka sendiri semampu mereka.
3)     Bekerjasamalah secara sungguh-sungguh dengan para pekerja untuk menjamin bahwa semua pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu yang telah dikembangkan.
4)     Bagilah pekerjaan dan tanggung jawab secara merata antara pimpinan dengan para pekerja. Manajemen mengambil alih semua pekerja yang lebih sesuai baginya ketimbang bagi para pekerja.

2.     Tulisan Henry Fayol dalam bukunya yang berjudul “General and Industrial Management” (Manajemen Umum dan Industri). Karya ilmiahnya ini cukup membahas tentang beberapa syarat umum seorang top manajer dan beberapa prinsip umum dari manajemen yang menurutnya dapat diterapkan pada segala kegiatan manajer baik di kalangan bisnis maupun pemerintahan. Apabila kita bandingkan dengan tulisan Taylor maka tulisan fayol ini dapat melengkapi kelemahan teori taylor tersebut karena pada dasarnya Fayol mengajukan tiga pokok persoalan, yaitu :
a.     Pembagian pekerjaan, dalam hal ini menurut Fayol setiap kegiatan dalam perusahaan umumnya dapat dibagi dalam 6 fungsi, yaitu :
1)     Fungsi teknis (produksi).
2)     Fungsi komersial (pembelian dan penjualan).
3)     Fungsi finansial (pengadaan dan penggunaan dana).
4)     Fungsi akuntansi (pembukuan termasuk statistik).
5)     Fungsi security (jaminan terhadap barang dan personel).
6)     Manajemen.

b.    Kepegawaian, dalam menilai pegawai Fayol menilainya dari beberapa segi kualitas, seperti : fisik, mental, pendidikan, moral dan pengalamanya.

c.    Beberapa prinsip umum manajemen :
1)         Pembagian kerja (Devision of work).
2)         Wewenang dan tanggung jawab (Authority and responsibility).
3)         Disiplin.
4)         Kesatuan komando (Unity of command).
5)         Kesatuan arah (Unity of direction).
6)         Mengabaikan kepentingan pribadi untuk kepentingan umum (Disregarding private interest for the sake of public).
7)         Sistem pengupahan (penggajian) pegawai.
8)         Pemusatan wewenang (Sentralisasi).
9)         Hirarki (jenjang) pengawasan.
10)           Ketertiban.
11)           Keadilan dan kejujuran.
12)           Stabilitas kondisi pegawai (jaminan masa kerja).
13)           Prakarsa dan
14)           Semangat kesatuan (setia kawan).

Selain itu Herbert Hicks menambahkan pula beberapa prinsip manajemen umum, yaitu :
1)          Kesesuaian tujuan.
Semua kegiatan organisasi akan efektif jika semua orang yang terlibat di dalamnya bisa bekerja ke satu tujuan secara harmonis. Artinya harus muncul kesesuian antara tujuan individu dengan tujuan organisasinya secara konseptual.

2)          Universalitas manajemen.
Apapun tugas organisasi dan tingkat manajemenya maka fungsi-fungsi manajemen pada dasarnya sama karena pada dasarnya keterampilan manajemen itu bersifat transferabel dari satu organisasi dengan satu organisasi lainya.
3)          Mengutamakan tujuan dan perencanaan.
Perumusan tujuan sebagai syarat mutlak untuk sebuah organisasi yang ingin mencapai tujuan secara teratur dan rasional. Sedangkan perencanaan sebagai suatu proses dalam perumusan beberapa tujuan dan pemilihan beberapa pendekatan untuk mencapai tujuan. Proses tersebut umumnya meliputi : pembentukan gagasan, pembuatan konsep, produksi dan pelayanan. Perencanaan ini mendahului fungsi-fungsi manajemen lainya.
4)          Pengawasan berdasarkan penyimpangan.
Supervisi dan pengawasan korektif dikonsentrasikan terhadap kegiatan yang bersifat menyimpang (tidak serasi) dengan yang telah direncanakan.
5)          Keputusan berdasarkan  penyimpangan.
Seorang manajer harus bisa membuat keputusan mengenai semua persoalan yang menjadi perhatianya kecuali terhadap persoalan yang bukan kewenanganya.
6)          Keseibangan antara wewenang (authority), kekuasaan (power), tanggung jawab (responsibility) dan pertanggung jawaban (accountability).
7)          Koordinasi.
Berbagai kegiatan usaha yang efektif dapat dicapai jika semua orang dan sumber lain bisa disinkronkan (diserasikan dan diarahkan). Artinya koordinasi diperlukan untuk menjamin tercapainya tujuan secara produktif (Siagian, 1982:18-21).

Koordinasi pada hakekatnya berhubungan dengan penyatuan usaha manusia, yang meliputi :
Ø     Jumlah usaha, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Ø     Waktu yang diperlukan.
Ø     Penentuan arah usaha-usaha tersebut.




Karakteristik dari koordinasi, adalah :

ü    Bersifat dinamis.
ü    Menekankan pada pandangan yang menyeluruh dalam mencapai tujuan oleh seorang manajer.

Perbedaan antara koordinasi dengan kooperasi terletak pada bagaimana hubungan antara orang-orang dalam melakukan kegiatanya untuk mencapai suatu tujuan. Pada koordinasi erat sekali kaitanya dengan sinkronisasi yang mempunyai arti lebih luas dari kooperasi. Sedangkan kooperasi lebih menekankan pada kerja sama diantara orang-orang dalam mencapai tujuan. Kooperasi bisa terjadi tanpa disertai adanya koordinasi karena koordinasi tidak mudah dilaksanakan dengan alasan :
§        Setiap bagian mementingkan bagianya masing-masing.
§        Setiap kepala bagian bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas dalam unitnya sendiri.
§        Adanya vested interest disetiap unit (bagian) sehingga mereka cenderung untuk memusatkan tujuan bagianya masing-masing.

3.     Max Weber


Weber, seorang ahli sosiologi Jerman yang pada awal tahun 1900-an menulis mengenai pengembangan teori struktur otoritas yang menggambarkan kegiatan organisasi berdasarkan hubungan otoritas. Weber melukiskan suatu tipe ideal organisasi yang disebutnya birokrasi. Birokrasi, adalah suatu system yang dicirikan oleh, adanya pembagian kerja, hierarki yang dirumuskan dengan tegas, peraturan, dan ketetapan yang terinci dalam hubungan impersonal.

Birokrsi yang ideal menurut Weber, adalah :
1. Pembagian kerja, pekerjaan diperinci menjadi tugas-tugas sederhana, rutin dan dirumuskan dengan baik.
2. Hierarki Wewenang, kedudukan (posisi) disusun dalam sebuah hierarki yang dibawah kendali dan diawali oleh yang lebih tinggi.
3. Seleksi Format, semua anggota organisasi dipilih atas dasar kualifikasi teknis yang diperlihatkan oleh pelatihan, pendidikan, dan pemeriksaan formal.
4. Tatanan dan aturan formal, untuk menjamin keseragaman dan mengatur perilaku karyawan, dan para manager sangat tergantung pada peraturan organisasi yang formal.
5. Impersonalitas, peraturan dan kendali diterapkan seragam, sambil menghindari campur tangan atas kepribadian dan cita rasa pribadi para karyawan.
6. Orientasi Karier, para manajer sebagai pejabat professional bukannya pemilik unit-unit yang mereka kelola. Mereka bekerja demi gaji dan mengajarkan karier mereka di dalam organisasi itu.

4. Pendekatan Kuantitatif


Pendekatan ini disebut juga “OR” (Operation Research) atau ilmu manajemen, pendekatan  ini muncul dari berkembangnya pemecahan matematis dan statis dalam masalah kemiliteran selama Perang Dunia II. Pasca PD II banyak teknik kuantitatif yang telah digunakan dalam memecahkan persoalan militer diterapkan ke sektor bisnis. Salah satu kelompok perwira militer yang dijuluki “Whiz Kids”, bergabung dengan Fond Motor Company pada pertengahan 1940-an dan segera mulai menggunakan metoda statistik dan model kuantitatif untuk memperbaiki teknik pengambil keputusan di Ford. Pendekatan kuantitatif terhadap manajemen mencakup penerapan statistik, model optimasi, model informasi dan simulasi komputer. Program Linier, adalah salah satu teknik yang dapat digunakan para manajer untuk memperbaiki keputusan pengalokasian sumber daya. Penjadwalan kerja dapat lebih efisien sebagai hasil analisis penjadwalan jalur kritis (CPA=Critical Path Analysis). Keputusan mengenai penentuan tingkat persediaan optimum yang harus dipertahankan oleh sebuah perusahaan dapat sangat dipengaruhi oleh model kuantitas pesanan ekonomis.

5. Perilaku Organisasi


Para manajer dalam usaha merampungkan segala pekerjaanya dilakukan dengan kerja sama, ini menjelaskan mengapa beberapa penulis dan peneliti telah memilih untuk melihat manajemen dengan memusatkan perhatian pada sumber-sumber daya manusia organisasi tersebut. Bidang kajian yang berkaitan dengan tindakan (perilaku) manusia ditempat kerja itu, disebut perilaku organisasi (OB=Organizational Behaviour). Sebagian besar sekarang ini merupakan bidang manajemen (personalia) sumber daya manusia, dan pandangan kontemporer mengenai motivasi, kepemimpinan, kerja kelompok, dan pengelolaan konflik telah muncul dari perilaku organisasi itu.

Ada empat orang yang menonjol sebagai pendukung awal pendekatan perilaku organisasi, yaitu : Robert Owen, Hugo Munsterberg, Mary Parker Follett, dan Chester Barnard.

Robert Owen, adalah seorang pengusahan sukses asal Scontlandia yang membeli pabrik pertamanya tahun 1780. Ketika baru berusia 18 tahun Ia muak dengan praktek kasar yang disaksikannya di pabrik-pabrik diseluruh scotlandia, misalnya dipekerjakannya anak-anak kecil (banyak yang umurnya di bawah 10 tahun), hari kerja 13 jam, dan keadaan tempat kerja yang menyedihkan.

Owen kemudian menjadi seorang pembaharu sosial yang mencomooh pabrik karena memperlakukan peralatan mereka dengan lebih baik dari pada buruh mereka. Owen menegaskan, bahwa uang yang dibelanjakan untuk memperbaiki upah merupakan salah satu investasi paling baik yang dapat dibuat oleh para eksekutif bisnis. Owen mengatakan, bahwa perhatikan karyawan itu sangat mengutungkan manajemen, dan akan meringankan penderitaan manusia.

Owen mengusulkan suatu tempat kerja yang idealistis dimana jam-jam kerja akan diatur, tenaga kerja anak akan diharamkan, pendidikan masyarakat akan disediakan, santapan ditempat kerja akan disediakan, dan perusahaan-perusahaan akan dilibatkan dalam proyek-proyek kemasayarakat. Namun Owen lebih dikenang dalam teori manajemen karena keberanian dan niatnya untuk mengurangi penderitaan kelas pekerja ketimbang karena sukses manajemennya.

Hugo Munsterbeg, menciptakan bidang psikologi industri kajian ilmiah terhadap para individu yang bekerja untuk mencapai produktivitas yang maksimal. Untuk ini Hugo menyarankan penggunaan tes psikologi untuk memperbaiki pemilihan karyawan, nilai teori belajar dalam mengembangkan metode pelatihan, dan kajian atas perilaku manusia untuk memahami teknik yang paling efektif dalam memotivasi para pekerja. Sebagiaan besar pengetahuan kita sekarang tentang teknik pemilihan karyawan, pelatihan karyawan, desain pekerja, dan motivasi didasarkan pada karya Munsterberg itu.

Chester Barnard, adalah orang yang gagasannya menjembatani sudut pandang klasik dengan sudut pandang perilaku organisasi. Seperti fayol, dan Barnard, adalah seorang praktisi, Bernard juga, adalah Presiden New Jersey Bell Telephone Company.
Bernard telah membaca dan dipengaruhi oleh tulisan Weber, tetapi berbeda dengan Weber yang mempunyai pandangan mekanistik dan impersonal terhadap organisasi, Bernard melihat organisasi sebagai system social yang membutuhkan kerja sama manusia. Bernard berpendapat, bahwa organisasi itu terbentuk dari orang-orang yang mempunyai ikatan sosial yang saling berinteraksi. Peran manajer, adalah berkomunikasi dan merasang anak buah menuju tingkatan usaha yang tinggi, dan suksesnya sebuah organisasi menurut Bernard tergantung pada diperolehnya kerja sama dari orang-orangnya.

6.     Kajian Hawthorne

Kajian Hawthore, adalah serangkaian penelitian yang diselenggarakan antara tahun 1920-an hingga 1930-an, yang hasilnya memberikan wawasan baru kepada individual dan kelompok.

Pada tahun 1927, para insinyur Westrn Electric meminta Profesor Elton Mayo dan Harvard serta rekannya untuk bergabung dengan kajian tersebut sebagai konsultan. Begitulah dimulainya suatu hubungan yang akan berlangsung selama 1932, dan mencakup banyak percobaan dalam mendesain ulang jabatan, perubahan lamanya jam kerja, dan hari kerja dalam seminggu, memperkenalkan periode istirahat, dan rancangan upah individu dengan kelompok.

Salah satu percobaan yang dirancang untuk mengevaluasi pengaruh sebuah system pembayaran intensif kerja kelompok pada produktifitas kelompok. Hasilnya mengindikasikan, bahwa rancangan intensif itu kurang pengaruhnya terhadap hasil seorang pekerja dibanding tekanan kelompok dan penerimaan kelompok serta rasa aman yang menyertainya. Untuk itu norma-norma sosial (patokan) kelompok tersebut disimpulkan sebagai penentu kerja individu.

Para ahli umumnya sepakat, bahwa kajian Hawthorne itu mempunyai dampak terhadap arah gagasan manajemen, dan peran perilaku manusia dalam organisasi. Namun kajian Hawthorne itu dikritik, serangan dilancarkan terhadap produser analisis dari temuan, dan kesimpulannya. Dari sudut pandang sejarah tidaklah begitu penting apakah kajian-kajian itu secara akademis sehat atau kesimpulanya dibenarkan, yang penting kajian itu merasang minat terhadap perilaku manusia dalam organisasi.
Kajian Hawthorne itu memainkan peran penting dalam mengubah pandangan yang dominan pada waktu itu yakni  karyawan itu berbeda dari mesin lain mana pun juga yang digunakan oleh organisasi tersebut, artinya mereka itu hanyalah ada dengan tujuan menolong organisasi tersebut mencapai sasarannya secara effisien.

7. Teori Maslow


Teori motivasi yang terkenal, adalah teori Abraham Maslow tentang Hierarki kebutuhan. Maslow, adalah ahli psikologi humanistis yang mengemukakan, bahwa di dalam setiap manusia terdapat tataran lima kebutuhan, yaitu :
a.     Kebutuhan Fisiologis : pangan, minum, tempat berteduh, kepuasan seksual, dan tuntutan fisik lainnya.
b.     Kebutuhan Rasa Aman : rasa aman dan perlindungan terhadap hal yang membahayakan fisik dan emosional, dan juga jaminan bahwa kebutuhan fisik itu akan terus dipenuhi.
c.      Kebutuhan Sosial : rasa sayang, rasa termasuk dalam kelompok, diterima, dan persahabatan.
d.     Kebutuhan Penghargaan : faktor-faktor penghargaan bathiniah, seperti harga diri, otonomi, dan prestasi serta faktor harga diri, seperti status, pengakuan dan perhatian.
e.      Kebutuhan Aktualisasi Diri : pertumbuhan, mencapai potensi seseorang, dan pelaksanaan diri, dorongan untuk menjadi apa yang mampu untuk dicapai seseorang.

Maslow menegaskan, bahwa setiap tingkat dalam hirarki itu pada pokoknya harus dipenuhi sebelum tingkatnya diaktifkan, dan setelah satu kebutuhan pada pokoknya dipenuhi, kebutuhan tersebut tidak lagi memotivasi perilaku. Artinya sewaktu setiap kebutuhan pada pokoknya terpenuhi, kebutuhan berikut menjadi dominan. Dari sudut pandang motivasi, teori kebutuhan yang pada pokoknya telah dipenuhi tidak lagi memotivasi seseorang. Untuk itu seandainya ingin memotivasi seseorang, maka menurut Maslow harus mengerti kebutuhan orang tersebut ada pada tingkat mana di dalam hirarki itu, dan memusatkan perhatian untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada tingkat tersebut atau di atasnya. Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu menjadi tingkat atas dan tingkat bawah, kebutuhan-kebutuhan fisiologis dan keamanan digambarkan sebagai kebutuhan tingkat bawah, sedangkan kebutuhan sosial, pengharga, dan aktualisasi diri digambarkan sebagai kebutuhan tingkat atas.
E.   Kepemimpinan (Leadership)

Organisai, adalah suatu pengaturan orang yang secara sengaja diciptakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan tiga ciri umum yang dipunyainya, yaitu : Manusia, Tujuan, dan Struktur.

Setiap organisasi terdiri atas beberapa orang manusia untuk menjalankan pekerjaan agar organisasi tersebut dapat mencapai sasarannya (jika hanya satu orang yang berkerja bukanlah organisasi).

Setiap organisasi mempunyai tujuan tertentu yang biasanya diungkapkan dalam rangka sebuah sasaran (serangkaian sasaran) yang ingin dicapai oleh organisasi.

Semua organisasi mengembangkan struktur secara sengaja agar semua anggota dapat melaksanakan pekerjaan mereka. Struktur itu dapat terbuka dan luwes tanpa batasan yang jelas dan tegas mengenai kewajiban jabatan atau ketaatan yang kaku pada setiap pengaturan jabatan yang tegas. Singkatnya suatu jaringan kerja sederhana yang terdiri atas hubungan kerja longgar (struktur) tersebut dapat bersifat lebih rasional dengan peraturan dan uraian. Misalnya salah satu anak perusahaan independent General Motors, Saturn Corporation, bisa mewakili ciri penampilan organisasi kontemporer dengan pengaturan kerja yang luwes, tim kerja karyawan, sistem komunikasi terbuka, dan gabungan pemasoknya.

Bagaimanakah persisnya perubahan konsep organisasi itu? Mengenai hal ini terdapat beberapa perbedaan antara pandangan tradisional dengan pandangan kontemporer. Organisasi zaman sekarang lebih terbuka, fleksibel, dan tanggap terhadap perubahan karena perubahan masyarakat, ekonomi global, dan teknologi telah menciptakan lingkungan baru bagi organisasi. Organisasi yang sukses, adalah organisasi yang terus-menerus mencapai sasaran mereka untuk ini harus ditempuh cara-cara baru dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Contohnya “ledakan informasi”, globalisasi yang meningkat, dan harapan-harapan karyawan yang berubah-ubah ditempat kerja.

Meskipun konsep organisasi ini dapat berubah namun manajer dan manajemenya tetap sebagai hal penting bagi organisasi. Manajer, adalah anggota organisasi yang mengawasi dan mengarahkan pekerjaan anggota yang lain.

Sifat organisasi dan pekerjaan yang telah berubah dalam banyak organisasi telah mengaburkan garis perbedaan yang tegas antara manajer dengan karyawan. Banyak pekerjaan karyawan yang tradisional sekarang mencakup kegiatan manajerial, terutama dalam regu-regu, misalnya : seringkah anggota tim menyusun rencana, mengambil keputusan, memantau kinerjanya, dan sebagai karyawan operasi ikut pula memikul tanggung jawab yang secara tradisional dianggap milik manajemen. Untuk itu beberapa definisi yang telah digunakan dimasa lampau tidak cocok lagi. Seorang anggota organisasi yang memadukan dan mengkoordininasikan pekerjaan orang lain dapat berarti bertanggung jawab langsung atas sebuah departemen atau dapat berarti menyelia satu orang saja.

Hal ini dapat juga mencakup mengkoordininasikan kegiatan kerja sebuah regu yang terdiri atas beberapa orang dari departemen yang berlainaan atau dari organisasi lain. Manajer mempunyai kewajiban kerja lain yang tidak berkaitan dengan memadukan pekerjaan orang lain, misalnya : seorang pengawas klaim asuransi dapat pula memproses klaimnya selain mengkoordinasikan kegiatan kerja pegawai kaim lainnya. Bagi organisasi yang berstruktur tradisional (organisasi yang memiliki penataan kerja yang secara sengaja dibentuk seperti sebuah piramida) mencerminkan kenyataan, bahwa jumlah karyawan tidak lebih besar di bagian bawah daripada di puncak, seperti terlihat pada gambar berikut ini : 
                  



 

                                                    Top
                                                  Manajer
                                                  Midle
                                                Manajer
                                               
                                               Low Manajer
                                     
                                      Karyawan non manajerial


Mengidentifikasi dengan tepat siapa manajer dalam organisasi ini tidak sulit, meskipun manajer mempunyai berbagai macam nama.

Manajer Lini pertama, adalah manajemen tingkat paling rendah dan seringkali disebut Penyelia. Pada sebuah pabrik manajer lini pertama dapat disebut Mandor atau dalam regu atletik Pelatih akan dianggap sebagai manajer lini pertama.

Manajer menengah mencakup semua tingkat manajemen antara tingkat penyelia dan tingkat puncak pada organisasi tersebut dengan sebutan, seperti : kepala bagian (kepala biro), pemimpin proyek, manajer pabrik, kepala unit, dekan, uskup, atau manajer devisi.

Selanjutnya pada puncak (dekat puncak organisasi) terdapat manajer puncak yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan seluruh organisasi dan menetapkan kebijakan serta strategi yang mencakup seluruh organisasi. Lazimnya jabatan-jabatan pada tingkat ini dipegang oleh wakil presiden pelaksana, presiden, direktur pelaksana, kepala operasi, CEO (Chief Executive Officer), atau presiden komisaris. Istilah manajemen mengacu pada proses mengkoordinasi dan mengintegrasi kegiatan kerja agar diselesaikan secara efisien dan efektif melalui orang lain. Proses itu menggambarkan berbagai fungsi yang berjalan terus sebagai kegiatan utama yang harus dilakukan oleh para menejer. Fungsi itu meliputi kegiatan : merancang, mengorganisasi, memimpin, mengendalikan, mengkoordinasikan, dan mengintegrasikan pekerjaan orang lain itu merupakan hal yang membedakan sebuah posisi manajerial dari posisi non manajerial.

Menggambarkan apa yang harus dikerjakan oleh para manajer bukanlah suatu tugas yang gampang (sederhana) karena tidak ada dua organisasi yang sama persis, dan tidak ada dua pekerjaan manajer yang tepat sama. Melihat adanya keterbatasan itu, maka untuk dapat memiliki kajian manajemen formal diperlukan lebih dari 100 tahun agar dapat di peroleh dan dimiliki sejumlah skema kategori yang jelas serta bisa dikembangkan untuk melukiskan apa yang harus dilakukan oleh para manajer. Mengenai hal ini bisa dilihat dari segi fungsi, posisi, peran, keterampilan, sistem pengelolaan, dan pengelolaan situasi yang berbeda serta berubah-ubah jika tidak mempunyai tujuan tertentu yang dipikirkan.

Pada hakekatnya organisasi diadakan untuk mencapai tujuan tertentu, artinya seseorang (manajer) harus merumuskan tujuan tersebut serta sarana-sarana untuk mencapainya (fungsi perencanaa). Fungsi perencanaan itu mencakup proses merumuskan sasaran, menetapkan suatu strategi untuk mencapai sasaran, dan menyusun rencana guna mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan kegiatanya. Para manajer bertanggung jawab untuk mendesain sebuah struktur organisasi (fungsi pengorganisasian). Fungsi ini mencakup proses menentukan mana tugas yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas itu harus dikelompokan, siapa melapor kepada siapa, dan pada tingkat mana keputusan-keputusan harus diambil.

Setiap organisasi mencakup orang-orang, dan tugas dari manajemen untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan pekerjaan orang-orang itu. Hal ini merupakan fungsi memimpin, apabila para manajer memotivasi bawahannya, mengarahkan kegiatan orang lain, memilih saluran komunikasi yang paling efektif, atau menyelesaikan pertentangan diantara  anggota, mereka itu, adalah pemimpin. Fungsi manajemen terakhir yang dilakukan oleh para manajer, adalah pengendalian. Setelah sasarannya ditentukan dan dirumuskan, begitu juga pengaturan strukturnya dan orang-orang dipekerjakan, dilatih serta diberi motivasi maka untuk menjamin segala sesuatunya berjalan sebagaimana mestinya, para manajer harus memantau kinerja.

Kinerja aktual harus diperbandingkan dengan sasaran-sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Seandainya terdapat penyimpangan tugas manajemenlah yang harus mengembalikan pekerjaan itu pada jalurnya.. Proses pemantau, memperbandingkan, dan mengoreksi inilah apa yang dimaksud dengan fungsi pengendalian. Proses manajemen itu merupakan serangkai keputusan dan kegiatan terus-menerus dimana para manajer terlibat sewaktu mereka merancang, mengorganisasi, memimpin dan mengendalikan.

Pada akhir tahun 1960-an, Mintzberg melakukan suatu pengamatan mendetail terhadap lima manajer puncak yang sedang bekerja. Apa yang ditemukannya menantang beberapa pengertian yang telah lama bercokol mengenai pekerjaan manajer. Mintzberg menyimpulkan, bahwa para manajer itu menjalankan sepuluh peran yang berbeda tetapi sangat erat kaitannya. Istilah peran manajemen merujuk pada kategori tertentu tingkah laku manajerial, kesepuluh  peran manajerial itu, adalah :
1.     Pemimpin.
2.     Lambang Pemimpin.
3.     Penghubung.
4.     Pemantau.
5.     Penyebar.
6.     Juru bicara.
7.     Wirausaha.
8.     Pengendalian gangguan.
9.     Pengalokasian sumber daya dan,
10. Perundangan.

Kesepuluh peran manajerial Minzberg itu sebagai peran utama yang berkaitan dengan hubungan antar pribadi, pengalihan informasi, dan pengambilan keputusan. Peran antar pribadi, adalah peran yang meliputi kegiatan simbolis (figurehead) antara pemimpin dan penghubung. Peran informasi, adalah peran yang meliputi kecepatan memantau, menyebarkan dan juru bicara. Peran memutuskan, adalah peran yang meliputi kewirausahawan, penanganan gangguan, pengalokasian sumber daya dan perudangan.

Keterampilan Manajemen, untuk melakukan apa yang harus dilakukan seorang manajer diperlukan suatu ketrampilan agar dapat menjalankan kegiatan dan tugas-tugasnya. Menurut hasil penelitian Robert L. Katz di tahun 1970-an menemukan, bahwa manajer membutuhkan tiga keahlian (ketrampilan) hakiki, yaitu :
1.     Ketrampilan teknis mencakup pengetahuan dan keahlian dalam bidang khusus tertentu.
2.     Manusiawi, adalah kemampuan untuk bekerja dengan baik bersama orang lain, baik secara individual maupun secara kelompok.
3.     Konseptual, adalah kemampuan untuk berfikir dan menggagas situasi abstrak, untuk melihat organisai sebagai suatu kesamaan dan hubungan di antara sub-sub unit, dan untuk menggambarkan bagaimana organisasi dapat masuk dalam suatu lingkungan.

Ada dua alasan untuk mempelajari menajemen, pertama kita semua memiliki sebuah kepentingan mendalam untuk memperbaiki cara-cara pengolahan organisasi. Kedua, untuk merencanakan karier manajemen dalam pengertian ini proses manajemen merupakan dasar tempat  membangun ketrampilan manajemen.

FUNGSI PERENCANAAN


Perencanaan meliputi semua kegiatan mulai dari merumuskan sasaran (tujuan) organisasi, menetapkan strategi menyeluruh untuk mencapai tujuan tersebut dan mengkoordinasikanya.

Maksud Perencanaan


Sedikitnya ada empat alasan mengapa perencanaan penting dilakukan, yaitu :
1)     Perencanaan akan memberikan arah yang jelas.
2)     Mengurangi dampak perubahan.
3)     Memperkecil pemborosan dan kelebihan.
4)     Menentukan standar yang digunakan dalam pengendalian.

Perencanaan juga bisa memantapkan usaha koordinasi dan memberi arah kepada para manajer serta non manajer. Tanpa perencanaan yang baik departemen-departemen mungkin akan bekerja dengan tujuan yang saling bertentangan dan menghambat organisasi untuk bergerak secara efisien menuju sasarannya. Perencanaan mengurangi ketidakpastian karena dapat mendorongan para manajer untuk melihat kedepan, mengantisipasi perubahan, mempertimbangkan dampak perubahan dan menyusun berbagai tanggapan yang tepat serta cepat. Perencanaan juga memperjelas konsekuensi dari tindakan yang mungkin dilakukan oleh para manajer dalam menanggapi perubahan.

Fokus Perencanaan

Fokus perencanaan pada masa depan, apa yang harus dicapai dan bagaimana caranya. Esensinya, fungsi perencanaan termasuk dalam aktivitas manajerial yang menetapkan tujuan untuk masa depan, dan sarana yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Hasil dari fungsi perencanaan adalah rencana, suatu dokumen tertulis yang menetapkan serangkaian tindakan yang akan diambil perusahaan.

Elemen Perencanaan


Fungsi perencanaan mengharuskan manajer untuk membuat keputusan sedikitnya mengenai 4 elemen dasar rencana, yaitu : tujuan, tindakan, sumberdaya dan implementasi.

1.     Tujuan, menetapkan kondisi masa depan yang diharapkan seorang manajer untuk dicapai.
2.     Tindakan, adalah sarana (aktivitas) khusus yang direncanakan untuk mencapai tujuan. Penetapan tujuan dan pemilihan rangkaian tindakan juga memerlukan peramalan (forecasting) masa depan. Seorang manajer tidak dapat membuat rencana tanpa mempertimbangkan berbagai kejadian dan faktor masa depan yang akan mempengaruhi apa yang mungkin akan dicapai.
3.     Sumberdaya merupakan rangkaian tindakan, suatu rencana harus menetapkan macam dan banyaknya sumberdaya yang diperlukan, sumberdaya potensial dan alokasi sumberdaya. Penetapan sumberdaya melibatkan penganggaran (budgeting), identifikasi dan tingkat sumberdaya yang dapat dipastikan untuk serangkaian tindakan.
4.     Implementasi, melibatkan penugasan dan arahan personel untuk melaksanakan rencana artinya sebuah rencana harus memasukan cara dan sarana untuk mengimplementasikan tindakan-tindakan yang dimaksud.

Jenis Perencanaan


Cara yang populer untuk menjabarkan rencana organisasi, adalah menurut luasnya (strategi Vs operasional), kerangka waktu (jangka pendek Vs jangka panjang), kekhususan (pengarahan Vs otonomi) dan frekuensi penggunaan (dipakai sekali terus-menerus).

Rencana Strategis Vs Rencana Operasional


Rencana Strategis, adalah rencana yang berlaku bagi seluruh organisasi, menentukan sasaran umum dan berusaha menempatkan organisasi dalam lingkungannya.
Rencana Operasional, sebagai usaha untuk menempatkan organisasi dalam lingkungannya.

Rencana Jangka Pendek Vs Rencana Jangka Panjang

Rencana Jangka Panjang adalah rencana dengan batas waktu diatas tiga tahun.
Rencana Jangka Pendek adalah Rencana yang mencakup satu tahun atau kurang.

Rencana yang diarahkan (directional) Vs Rencana Khusus (Specific)

Rencana Khusus, adalah rencana yang sudah dirumuskan dengan jelas dan tidak menyediakan ruang bagi interprestasi.
Rencana Directional, adalah rencana yang fleksibel yang  menetapkan pedoman umum.

Kritikan terhadap perencanaan formal amat popular di tahun 1960-an dan masih populer sampai sekarang. Para pengkritik telah menantang beberapa asumsi dasar yang mendasari perencanaan itu. Ada beberapa argumen utama yang telah diarahkan pada perencanaan formal, yaitu :
1.     Perencanaan dapat menciptakan kekakuan.
2.     Rencana tak dapat dikembangkan bagi suatu lingkungan yang dinamis.
3.     Rencana formal tidak dapat menggantikan intuisi dan kretifitas.

Rencana memusatkan perhatian para manajer pada persaingan sekarang bukan nanti. Perencanaan formal memperkuat sukses yang bias dan menjurus kepada kegagalan.

Beberapa Prinsip Utama dari Perencanaan (Planning)
1)    The purpose and nature of planning(Tujuan dan dasar dari perencanaan
a. Principe of contribution to objective,
2)      

FUNGSI PENGORGANISASIAN


Menetapkan Struktur dan Desain Organisasi


Pengorganisasian, dirumuskan sebagai proses menciptakan struktur sebuah organisasi. Struktur Organisasi, adalah kerangka kerja formal organisasi yang mencerminkan pembagian, pengelompokan dan pengkoordinasian tugas dalam suatu organisasi.
Desain Organisasi, adalah pengembangan atau pengubahan struktur suatu organisasi.

Spesialisai Kerja

Konsep spesialisasi (pembagian) kerja menyebabkan meningkatnya produktivitas karyawan. Penerapan konsep pembagian kerja yang terkenal dilakukan melalui jalur perakitan Henry Ford pada awal tahun 1900-an dengan membagi tugas pada setiap pekerja untuk suatu pejerjaan tertentu dan diulang-ulang. Spesialisasi kerja, adalah tingkat dimana tugas-tugas dalam suatu organisasi dibagi menjadi pekerjaan-pekerjaan yang terpisah. Hakekat spesialisasi kerja, ialah seluruh pekerjaan tidak dilakukan oleh satu individu melainkan dipecah-pecah menjadi langkah-langkah dengan setiap langkah dikerjakan oleh orang yang berbeda. Artinya setiap karyawan mengkhususkan diri untuk mengerjakan bagian kegiatan bukannya seluruh kegiatan itu.

Departementalisasi

Departementalisasi, sebagai landasan yang digunakan untuk mengelompokan tugas-tugas dan pekerjaan dalam rangka mencapai sasaran organisasi. Setiap organisasi akan memiliki cara khasnya sendiri dalam mengklasifikasikan dan menggolongkan kegiatan kerja. Secara histories salah satu cara yang paling popular untuk menggolongkan kegiatan kerja, adalah menurut fungsi yang dilakukan (departemen fungsional). Kegiatan kerja dapat pula didepartementalisasikan menurut jenis produk yang dihasilkan oleh organisasi tersebut (departementalisasi produk), gambar Departementalisasi Produk.



Perusahaan Produksi
 
 



 





Cara lain untuk melakukan departementalisasi, adalah berdasarkan geografis atau wilayah (departementalisasi goegrafis) fungsi penjualan, misalnya mempunyai Wilayah Barat, Timur, Selatan, dan Utara. Setiap Wilayah ini merupakan sebuah departemen yang diorganisasikan sekitar geografi. Seandainya para pelanggan organisasikan tersebar di suatu wilayah geografis yang luas, bentuk departementalisasi macam ini dapat berharga.

Rantai Komando

Rantai Komando, adalah sebuah garis wewenang yang tak terputus yang membentang dari tingkat atas organisasi terus sampai tingkat paling bawah dan menjelaskan siapa melapor kepada siapa. Dalam membahas rantai komando ada tiga konsep serupa, yaitu : wewenang, tanggung jawab, dan kesatuan komando.
Wewenang, merujuk pada hak-hak yang melekat pada sebuah posisi manajerial untuk memberi perintah dan mengharapkan perintah itu ditaati.
Tanggung jawab, apabila orang mendapat hak dengan kadar untuk melakukan sesuatu, orang pun mengandaikan kewajiban yang setara untuk melaksanakan kegiatan yang diperintahkan.
Kesatuan Komando, menolong melestarikan konsep garis wewenang yang terputus, prinsip ini mengatakan, bahwa seseorang hanya boleh mempunyai satu atasan saja dan kepadanyalah dia bertanggung jawab secara langsung.

Rentang Kendali

Konsep rentang kendali merujuk pada seberapa banyak anak buah yang dapat diawasi secara efektif dan efisien oleh seorang manajer. Masalah rentang kendali mendapat sejumlah perhatian meskipun tidak ada kesepakatan mengenai angka ideal tertentu, namun sejumlah penulis memang mengakui bahwa tingkatan dalam oraganisasi merupakan variable kotingensi yang dapat mempengaruhi angka ini. Mereka mengatakan, bahwa sewaktu seorang manajer naik dalam hirarki organisasi, Ia harus berhadapan dengan masalah yang makin beragam kerumitannya, dan tidak terstruktur karena itu para penjabat puncak seharusnya mempunyai rentang kendali yang lebih kecil daripada manajer-manajer menegah. Demikian juga para manajer menengah memerlukan rentang kendali yang lebih kecil daripada para penyelia. Harus disadari dan dipahami, bahwa rentang kendali yang paling efektif dan efisien itu semakin ditentukan dengan melihat pada sejumlah variable kontingensi. Mengapa konsep rentang kendali itu penting? Untuk sebagian besar konsep tersebut menentukan jumlah tingkatan dan jumlah manajer yang dimiliki sebuah organisasi, kalau segala sesuatunya sama, semakin luas atau semakin lebar rentang kendali maka semakin efisienlah desain organisasi itu.

Sentralisasi dan Desentralisasi

Pada organisasi tertentu para manajer puncak mengambil semua keputusan dan para manajer tingkat yang lebih rendah hanya melaksanakan petunjuk itu. Pada ekstrim yang lain, pada sejumlah organisasi pengambilan keputusan itu didorong kebawah melalui tingkatan manajemen kepada para manajer yang paling dekat dengan tindakan tersebut. Sentralisasi melukisan sejauh mana pengambilan keputusan itu terkonsentrasi di tingkat-tingkat atas organisasi. Apabila manajemen puncak mengambil keputusan-keputusan penting organisasi tersebut dengan sedikit atau tanpa masukan dari para karyawan tingkat yang lebih rendah maka organisasi itu tersentralisasi. Sebaliknya semakin karyawan tingkat rendah bisa memberi masukan atau betul-betul diberi kebebasan untuk mengambil keputusan maka perusahan itu makin terdesentralisasi. Pada konsep sentralisasi dan desentralisasi itu bersifat relatif (bukan absolut), dimaksud dengan ini ialah bahwa sebuah organisasi itu tidak pernah sepenuhnya tersentralisasi atau terdesentralisasi. Di bawah ini tabel Faktor yang mempengaruhi jumlah Sentralisasi dan Desentralisasi.

Lebih banyak Sentralisasi, bila :
Lingkungannya stabil.
Para manajer tingkat rendah tidak semahir atau berpengalaman dalam mengambil keputusan seperti hal para manajer tingkat atas.
Para manajer tingkat rendah tidak ingin ikut serta dalam keutusan-keputusan.
Organisasi itu menghadapi suatu atau risiko gagalnya perusahan.
Perusahannya terlampau besar.
Pelaksanaan strategi-strategi perusahaan yang efektif tergantung pada para manajer yang mempunyai hak menentukan apa yang terjadi.

Lebih banyak Desentralisasi, bila :
Lingkungannya komplek tidak pasti.
Para manajer tingkat bawahnya mampu dan berpengalaman dalam mengambil keputusan.
Para manajer tingkat rendah menhendaki suara dalam keputusan-keputusan..
Keputusan-keputusannya raltif kurang penting.
Budaya perusahaannya terbuka memungkinkan para manajer mempunyai pengaruh atas apa yang terjadi.
Perusahaan secara geografis terpencar.
Pelaksanaan strategi-strategi perusahaan yang efektif tergantung kepada keterlibatan para manajer dan fleksibilitasnya untuk mengambil keputusan-keputusan.

Formalisasi

Formalisasi merujuk pada sejauh mana berbagai pekerjaan dan tingkah laku karyawan dalam organisasi dibakukan serta dibimbing oleh peraturan. Apabila sebuah pekerjaan sangat diformalisasikan, maka orang yang mengerjakan pekerjaan tersebut mempunyai kebebasan minimum atas apa yang harus dilakukan, kapan hal itu harus diselesaikan, dan bagaimana ia harus melakukannya. Para karyawan diharapkan senantiasa menangani masukan yang sama dengan cara yang persis sama, menghasilkan keluaran yang seragam dan konsisten. Pada organisasi dengan formalisasi tinggi, terdapat uraian jabatan yang tegas, banyak peraturan organisasi, dan prosedur yang telah dirumuskan dengan jalas mencakup proses kerja. Pada organisasi dengan formalisasi rendah, tingkah laku pekerjanya relatif tidak terstruktur dan mempunyai banyak kebebasan dalam hal bagaimana cara melakukan pekerjaan. Kebebasan seseorang ditempat kerja berbanding terbalik dengan tingkah laku dalam pekerjaan yang telah diprogram sebelumnya oleh organisasi tersebut, semakin besar standarisasinya, semakin kecil masukan yang dimiliki karyawan mengenai bagaimana pekerjaan itu harus diselesaikan. Standarisasi bukan saja menghilangkan kemungkinan, bahwa para karyawan akan terlibat dalam tingkah laku alternatif, tetapi standarisasi bahkan menghilangkan perlunya para karyawan untuk memikirkan alternatif.

Kompleksitas

Kompleksitas, adalah akibat perkembangan langsung pembagian kerja  dan penciptaan departemen-departemen. Gagasan dasar dari kompleksitas, adalah organisasi dengan sejumlah besar pekerjaan dan unit yang sangat berbeda jenisnya akan menciptakan lebih banyak masalah manajerial dan organisasi yang rumit daripada organisasi dengan lebih sedikit jenis pekerjaan dan departemennya.

Pembagian Kerja

Pembagian kerja (division of labor) berkenaan dengan tingkat sejauh mana pekerjaan dispesialisasikan. Para manajer membagi seluruh kerja organisasi ke dalam beberapa pekerjaan tertentu yang mempunyai kegiatan tertentu. Organisasi merupakan kumpulan dari pekerjaan yang terspesialisasikan, yaitu orang-orang yang melakukan pekerjaan yang berbeda. Keputusan manajerial yang utama, adalah menentukan sampai sejauh mana pekerjaan akan dispesialisasikan. Secara historis, manajer cenderung membagi pekerjaan hingga sekecil mungkin karena adanya keunggulan dalam pembagian kerja, yaitu :
Jika sebuah pekerjaan mengandung sedikit tugas, maka melatih personalia baru yang menggantikan posisi personalia lama yang berhenti atau pindah dapat dilakukan dengan cepat. Kegiatan pelatihan yang minimal dapat menghemat biaya pelatihan. Bila sebuah pekerjaan hanya terdiri dari tugas-tugas yang terbatas jumlahnya, seorang karyawan bisa menjadi sangat terampil melaksanakan tugas-tugas tersebut. Keterampilan ini bisa mengahsilkan mutu output yang lebih baik.

KEPEMIMPINAN


Manajer dan Pemimpin

Para manajer itu ditunjuk karena kemampuan mereka untuk mempengaruhi didasarkan pada wewenang formal yang melekat pada posisinya. Para pemimpin dapat ditunjuk dari dalam suatu kelompok. Pemimpin dapat mempengaruhi orang-orang lain untuk bekerja melebihi tindakan yang diperintahkan oleh otoritas formal (manajer). Haruskah semua manajer menjadi pemimpin, dan haruskah semua pemimpin menjadi manajer, sementara ini belum ada orang yang mampu membuktikanya entah karena riset atau argumentasi nalar, bahwa kemampuan kepemimpinan itu merupakan halangan bagi seorang manajer. Seorang manajer idealnya haruslah pemimpin tetapi bukan semua pemimpin dengan sendirinya mempunyai kemampuan atau ketrampilan dalam fungsi manajemen lain, artinya tidak semuanya harus menduduki posisi manajemen. Untuk itu definisi seorang pemimpin, ialah orang yang mampu mempengaruhi orang lain dan memiliki wewenang manajerial. Sedangkan Kepemimpinan, adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok menuju tercapainya tujuan.

Teori-Teori Kontemporer Kepemimpinan

Tiga dari teori-teori kontemporer mengenai kepemimpinan, adalah Teori Friedler, Teori Alur Tujuan, dan Teori Partisipasi Pemimpin. Ketiga teori itu digambarkan sebagai teori kontingensi mengenai kepimpinan sedangkan teori lainya lebih mencerminkan pandangan kepemimpinan dalam hal penerapanya.

Model fiedler

Model Kontingensi yang komprehensif mengenai kepemimpinan telah disusun oleh Fred Fiedler. Model kontingensi Fiedler itu mengemukakan, bahwa kinerja kelompok yang efektif tergantung pada perpaduan yang memadai antara gaya interaksi pemimpin dengan bawahannya, dan derajat sejauh mana situasi memungkinkan kelompok itu untuk mengendalikan dan mempengaruhi. Model itu didasarkan pada anggapan, bahwa kepemimpinan itu paling efektif pada situasi yang berbeda, dan kemudian mengidentifikasi kombinasi yang pas antara gaya dengan situasi. Fiedler mengatakan, bahwa faktor kunci dalam kesuksesan kepemimpinan adalah gaya kepemimpinan yang mendasari seseorang. Gaya seseorang itu merupakan salah satu dari tipe kepemimpinan, salah satunya gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (hubungan). Untuk mengukur  gaya seorang pemimpin, Fiedler mengembangkan kuesioner LPC (Least Preferred Cowoker atau teman kerja yang paling tidak disukai). Fiedler percaya, bahwa jika rekan kerja yang paling sedikit disukai itu digambarkan dengan istilah-istilah yang relatif positif (dengan kata lain skors LPC yang tinggi), maka respon itu terutama berminat dengan hubungan pribadi yang baik dengan rekan-rekan kerjanya. Artinya apabila anda menggambarkan orang yang paling sedikit mampu untuk bekerja sama itu dengan istilah-istilah yang menguntungkan, anda akan diberi cap berorientasi hubungan. Sebaliknya, andaikata anda melihat rekan yang paling sedikit disukai itu dalam istilah-istilah yang relatif tidak menguntungkan (angka LPC yang rendah), anda terutama berminat pada produktivitas dan penyelasaian tugas itu dengan demikian anda akan dicap berorientasi tugas. Setelah gaya kepemimpinan mendasari seseorang ditentukan melalui LPC, perlu juga mengevaluasi situasi untuk mencocokkan pemimpin itu dengan situasinya. Riset Fiedler dalam hal ini menyikapi 3 dimensi kontingensi yang menetapkan faktor-faktor situasional utama untuk menentukan efektifitas pemimpin, yaitu :
Hubungan Pemimpin-Anggota
Tingkatan kepercayaan, keyakinan, dan rasa hormat, yang dimiliki bawahan terhadap pemimpin mereka; dinilai sebagai entah baik atau buruk.
Struktur Tugas, sejauh mana tugas-tugas kerja itu diformalkan dan dijadikan prosedur : dinilai sebagai tinggi atau rendah.
Kekuasaan Posisi, tingkat pengaruh yang dimiliki seorang pemimpin terhadap kegiatan-kegiatan berdasarkan kekuasaan, seperti mempekerjakan, memecat, menertibkan, menaikan pangkat, dan menaikan gaji : dinilai sebagai kuat atau lemah.

Fiedler memperlakukan gaya kepemimpinan seseorang sebagai hal yang tetap. Untuk itu, sebetulnya hanya ada dua cara untuk memperbaiki efektifitas pemimpin. Pertama, anda harus membawa masuk seorang pemimpin baru yang lebih cocok dengan situasinya. Misalnya, apabila situasi kelompok itu dinilai sebagai sangat tidak menutungkan tetapi dipimpin oleh seorang pemimpin yang brorientasi hubungan, kinerja kelompok itu dapat diperbaiki dengan menggantikan orang tersebut dengan pemimpin yang berorientasi tugas. Alternatif kedua, adalah mengubah situasinya hingga cocok dengan pemimpin itu, ini dapat dilakukan dengan merestrukturisasi tugas-tugas dengan cara meningkatkan atau mengurangi kekuasaan yang dimiliki pemimpin terhadap faktor-faktor, seperti kenaikan gaji, kenaikan pangkat, dan tindakan disipliner.

Teori Alur-Tujuan

Salah satu pendekatan yang paling dihargai untuk memahami kepemimpinan, adalah teori Alur-Tujuan. Teori ini dikembangkan oleh Robert House sebagai sebuah model kepemimpinan situasional yang menyaring unsur-unsur kunci dari teori pengharapan tentang motivasi. Pokok teori ini, adalah tugas pemimpin untuk menolong para pengikutnya dalam mencapai tujuan-tujuan mereka, dan untuk memberikan dukungan (bimbingan) yang perlu guna menjamin agar tujuan-tujuan mereka itu cocok dengan keseluruhan tujuan-tujuan kelompok (organisasi) tersebut. Menurut teori ini perilaku seorang pemimpin dapat diterima oleh bawahan sejauh mereka melihatnya sebagai sumber langsung kepuasan atau sebagai sarana kepuasan masa depan. Perilaku seorang pemimpin itu memotivasi, sejauh kelakuan itu membuat pencapaian kebutuhan bawahan tergantung pada kinerja yang efektif, memberi pelatihan, bimbingan, dukungan, dan imbalan-imbalan yang perlu bagi kinerja yang efektif. Untuk menguji pernyataan ini, House mengidentifikasi empat perilaku pemimpin, yaitu :
Pemimpin yang Direktif, membiarkan bawahan mengetahui apa yang diharapkan dari diri mereka, memjadwal pekerjaan yang harus dilakukan, dan memberi bimbingan spesifik mengenai bagaimana caranya menyelesaikan tugas-tugas.
Pemimpin yang Suportif, bersikap bersahabat dan menunjukkan serta menggunakan saran-saran mereka sebelum membuat keputusan.
Pemimpin yang Partisipatif, berunding dengan bawahan dan menggunakan saran-saran mereka sebelum membuat keputusan.
Pemimpin yang Berorientasi Prestasi, mematok tujuan-tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk bekerja pada tingkat yang paling tinggi.










 



















Gambar Teori Alur-Tujuan.
Berikut ini beberapa contoh hipotesa yang telah dikembang dari teori Alur-Tujuan :
Kepemimpinan Direktif, menyebabkan kepuasan yang lebih besar bila tugas-tugas itu sangat terstruktur dan ditata dengan baik namun bawahan yang merasa mempunyai kemampuan besar (banyak pengalaman) cenderung menganggap hal itu berlebihan. Semakin jelas dan birokratis hubungan wewenang formalnya, maka para pemimpin harus bisa menampilkan perilaku yang mendukung dan mengurangi perilaku yang mengarahkan.
Kepemimpinan yang suportif, menghasilkan kepuasan dan kinerja karyawan yang tinggi bila ada konflik nyata dalam suatu kelompok kerja.
Kepemimpinan partisipatif, orang-orang percaya, bahwa mereka bisa mengendalikan nasib mereka sendiri sehingga akan merasa lebih puas dengan gaya kepemimpinan partisipatif.
Bawahan-bawahan dengan tempat kendali eksternal akan merasa lebih puas dengan gaya yang direktif.
Kepemimpin berorientasi prestasi, akan meningkatkan harapan bawahan bahwa usaha yang dilakukan akan menjurus kearah kinerja yang tinggi apabila tugas-tugas disusun secara tidak jelas.


Model Partisipasi Pemimpin

Model kontingensi lainnya dikembangkan oleh Viktor Vroom dan Philip Yetton. Model ini, adalah model partisipasi pemimpin yang menghubungkan perilaku pemimpin partisipasi dalam hal pembuatan keputusaan. Model ini dikembangkan pada awal 1970-an dengan asumsi, bahwa perilaku pemimpin harus disesuaikan dengan struktur tugasnya, baik yang bersifat rutin, non rutin, atau salah satu diantaranya. Model Vroom dan Yetton disebut sebut juga model normatif sebab model ini menyajikan suatu rangkaian aturan (norma) yang berurutan dan harus diikuti oleh pemimpin untuk menentukan bentuk dan jumlah partisipasi dalam pengambilan keputusan, sebagaimana ditentukan oleh berbagai jenis situasi. Gaya-gaya kepemimpin ini dapat dilukiskan sebagai berikut :

Kemungkinan Gaya Kepemimpinan dalam model Partisipasi Pemimpin dari Vroom-Yetton          :

Otokrasi I (AI)                 :
Anda bisa pecahkan masalah dan membuat keputusana sendiri dengan menggunakan informasi yang tersedia saat itu.

Otokrasi II (AII)              :
Cari informasi yang diperlukan dari bawahan, kemudian putuskan sendiri jawaban atas permasalah tesebut. Pimpinan boleh menceritakan kepada bawahan mengenai masalah yang dihadapi sehingga bisa mencari informasi dari mereka. Peran bawahan dalam pembuatan keputusan lebih kepada memberi informasi yang diperlukan daripada memberikan atau mengevaluasi alternatif pemecahan masalah.

Konsultatif I (CI)             :
Pemimpin bisa berbagi masalah dengan bawahan kemudian meminta gagasan dan saran tanpa membawa mereka sebagai suatu kelompok.

Konsultatif II (CII)           :
Pemimpin berbagi masalah dengan  para bawahan sebagai kelompok, dan secara bersama-sama mencari gagasan serta saran dari mereka. Kemudian anda membuat keputusan yang boleh mencerminkan atau tidak mencerminkan pengaruh bawahan anda.



Kelompok II (GII)           :
Pemimpin berbagi masalah dengan para bawahan sebagai kelompok, dan bersama-sama menghasilkan serta mengevaluasi alternatif dan mencoba untuk mencapai kesepakatan (consensus) pada suatu jawaban persoalan.

Teori Antribusi Kepemimpinan

Teori antribus telah digunakan pula untuk menjelaskan persepsi tentang kepemimpinan. Teori ini berusaha untuk menafsirkan hubungan sebab-akibat dengan pernyataan, bahwa kepemimpinan itu sekedar sebuah keterangan yang dibuat orang mengenai individu-individu lain. Melalui penggunaan kerangka kerja atribusi tersebut para peneliti telah menemukan, bahwa orang cenderung mencirikan pemimpin sebagai seseorang yang memiliki karakteristik, seperti : kecerdasan, kepribadian yang mudah bergaul, keterampilan verbal yang kuat, agresif, penuh pengertian, dan rajin. Pemimpin itu serba tinggi (artinya tinggi dalam memprakarsai struktur, dan dalam perhatianya) telah terbukti sesuai dengan keterangan orang mengenai apa yang membuat pemimpin baik.

Teori Kepemimpinan Karismatik

Teori kepemimpinan karismatik merupakan perluasan dari teori atribusi, teori ini mengatakan, bahwa para pengikut menemukan penjelaskan mengenai kemampuan kepemimpinan yang heroik (luar biasa) manakala mereka mengamati perilaku tertentu. Studi terhadap kepemimpinan karismatik untuk sebagian besar telah diarahkan pada penentuan perilaku yang membedakan para pemimpin karismatik dengan para pemimpin yang bukan karismatik. Karakteristik kunci dari Pemimpin Karismatik sebagai berikut :
v    Keyakinan diri, keyakinan penuh dalam penilaian dan kemampuannya.
Visi, memiliki tujuan idealis dalam mengusulkan masa depan yang lebih baik daripada keadaan status quo. Semakin besar perbedaan antara tujuan idealis dengan status quo, akan sangat memungkinkan, bahwa para pengikut akan mengkaitkan misi yang luar biasa itu kepada pemimpin.
Kemapuan mengartikulasikan visi, mampu menjelaskan dan menyatakan visi itu dalam istilah yang dipahami orang lain. Artikulasi ini memperlihatkan pemahaman terhadap kebutuhan kepada para pengikut untuk bertindak sebagai kekuatan motivasi.
Keyakinan yang kuat akan misi, berani menanggung resiko pribadi, mengeluarkan biaya besar, dan bersedia mengorbankan diri demi tercapainya visi.
Perilaku yang lain dari biasa, membawa perilaku yang dianggap baru, tidak biasa, dan melawan arus. Bila berhasil, perilaku ini membangkitkan keheranan dan kekaguman dari para pengikut.
Penampilan sebagai agen, lebih dianggap sebagai agen perubahan yang radikal daripada sebagai pengemban status quo.
Kepekaan Lingkungan, mampu melakukan penilaian yang realistik terhadap hambatan lingkungan, dan sumber daya yang diperlukan untuk membawa perubahan.


Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan Transformasional


Dua kepemimpinan tersebut tidak bisa dilihat sebagai pendekatan yang berlawan untuk menyelesaikan segala sesuatunya karena kepemimpinan transformasional dibangun di atas kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transformasional menghasilkan tingkat usaha dan kinerja bawahan yang melampaui apa yang akan terjadi dengan pendekatan transaksional saja. Apalagi kepemimpinan transaksional itu lebih daripada kharisma, pemimpin yang sangat kharismatik akan menghendaki para pengikut untuk menyesuaikan pandangan dunia kharismatik itu dan tidak melangkah lebih jauh. Pemimpin transformasional akan mencoba membangkitkan kemampuan para pengikutnya untuk mempertanyakan bukan saja berbagai pandangan yang telah ada, melainkan juga pada akhir pandangan yang telah ditetapkan oleh sang pemimpin itu.

































PENGAWASAN (PENGENDALIAN)

Pengendalian dapat dirumuskan sebagai proses memantau kegiatan untuk memastikan penyelesaian kegiatan itu sebagaimana telah direncanakan dan proses mengoreksi setiap penyimpangan yang berarti. William G. Ouchi mengemukakan, bahwa ada tiga pendekatan lebih lanjut untuk merancang sistem pengendalian, yaitu :

Pengendalian Pasar, adalah pendekatan terhadapan pengendalian yang bertumpu pada penggunaan mekanisme pasar ekternal, seperti persaingan harga dan pasar relatif, untuk menentukan berbagai pedoman yang digunakan dalam sistem pengendalian.

Pengendalian birokrasi, adalah pendekatan terhadapan pengendalian yang bertumpu pada penggunaan wewenang organisasional dan mengandalkan aturan, ketentuan, prosedur, dan kebijakan administratif.

Pengendalian Iklan, adalah pendekatan terhadapan pengendalian yang bertumpu pada penggunaan perilaku karyawan yang diatur oleh nilai, norma, tradisi, ritual, keyakinan bersama, dan segi lain budaya organisasi, misalnya : ritual korporasi, seperti jamuan pemberian hadiah kerja setiap tahun atau bonus hari raya, memainkan peran penting dalam menentukan pengendalian.

Karakteristik dari Tiga Pendekatan terhadap Sistem Pengendalian

Tipe Pengendalian
Karakteristik

Pasar

Menggunakan mekanisme ekternal pasar, seperti : persaingan harga dan pangsa pasar terkait, untuk membuat standar yang digunakan pada sistem. Biasanya digunakan oleh organisasi yang produk atau jasanya telah ditentukan dengan jelas, dan sangat berbeda serta menghadapi persaingan pasar yang cukup ketat.
Birokrasi
Bertumpu pada wewenang organisasi dan bergantung pada mekanisme, serta hierarki, seperti : peraturan, ketetapan, prosedur, kebijakan, standarisasi kegiatan, uraian tugas yang terdefinisi dengan baik, dan anggaran, untuk memastikan, bahwa para karyawan memperlihatkan perilaku yang benar dan dapat mencapai standar kinerja.
Iklan
Mengatur karyawan dengan nilai, norma, tradisi, upacara-upacara, keyakinan, dan aspek-aspek lain dari budaya organisasi. Sering digunakan oleh organisasi yang biasa bekerja secara tim dan teknologinya mengalami perubahan dengan cepat.

Pentingnya Pengendalian


Perencanaan dapat dibuat, struktur organisasi bisa diciptakan untuk memperlancar tercapainya tujuan secara efektif dan efisien, para karyawan dapat diarahkan dan dimotivasi guna menghasilkan kinerja yang baik namun apakah semua itu bisa menjamin semua kegiatan yang dilakukan akan berlangsung sesuai dengan perencanaan, dan tujuan yang dikejar oleh para manajer bisa tercapai. Untuk itu pengendalian sangat penting sebagai jembatan terakhir dalam mata rantai fungsional kegiatan manajemen. Pengendalian, adalah salah satu cara bagi para manajer untuk mengetahui apakah tujuan organisasi itu tercapai atau tidak, dan mengapa hal itu terjadi.

Jenis Pengendalian :


Pengendalian Umpan Balik Depan : pengendalian ini paling didambakan karena bisa mencegah munculnya masalah diawal kegiatan, artinya pengendalian itu diarahkan ke masa depan. Kunci, adalah melakukan tindakan manajerial sebelum masalahnya timbul sehingga memungkinkan manajemen untuk mencegah permasalahan ketimbang harus membereskannya. Pengendalian ini menuntut informasi yang tepat waktu dan akurat sehingga sering sulit dikembangkan. Akibatnya para manajer sering mengandalkan kedua jenis pengendalian lainnya.

Pengendalian Sejalan, berlangsung saat kegiatan sedang dilaksanakan sehingga manajemen dapat mengoreksi masalah yang muncul sebelum masalah itu terlampau mahal. Bentuk pengendalian yang paling terkenal, adalah pengawasan langsung terhadap tindakan bawahan, dan memantau serta mengoreksinya.
 
Pengendalian Umpan Balik (paling populer), pengendalian berlangsung setelah kegiatannya terlaksana, seperti laporan pengendalian yang digunakan Chris Tanner untuk menilai penjualan bir. Kekurangan utama dari pengendalian ini, ialah pada saat manajer mendapatkan informasi itu kerusakannya telah terjadi. Seperti pepatah “menutup pintu kandang kuda setelah kudanya dicuri”. Pengendalian ini mempunyai dua keunggulan dibandingkan pengendalian umpan depan dan pengendalian sejalan. Pertama, pengendalian umpan balik memberi para manajer informasi yang bermakna tentang seberapa efektif usaha perencanaan itu. Kedua, pengendalian umpan balik dapat meningkatkan motivasi karyawan.



 










Pengendalian Umpan Depan

 

Pendalian Sejalan
 

Pengedalian Umpan Balik

 

 









Mengantisipasi Masalah
 

Memecahkan Masalah pada saat Terjadi
 

Pecahkan Masalah Setelah Terjadi
 


 






Gambar : Beberapa jenis pengendalian

Kualitas sebuah Sistem Pengendalian yang Efektif


Pada Sistem pengendalian yang efektif cenderung mempunyai beberapa karakteritik itu berbeda-beda sesuai dengan situasinya namun dapat digeneralisasikan dengan ciri-ciri sebagai berikut :

Ketepatan, sebuah sistem pengendalian yang menghasilkan informasi yang tidak tepat dapat membuat manajemen lupa mengambil tindakan manakala seharusnya bertindak atau menanggapi suatu masalah yang sebetul tidak ada.

Tepat Waktu, pengendalian seharusnya menggugah perhatian para manajer terhadap penyimpangan tepat pada waktunya guna mencegah akibat serius terhadap kinerja sebuah unit.

Hemat, sebuah sistem pengendalian harus hemat dalam penerapanya, dan harus bisa memberikan manfaat dalam kaitannya dengan biaya yang ditimbulkannya.

Fleksibel, bisa menyesuaikan dengan perubahan yang tidak bersahabat atau untuk mamanfaatkan peluang baru.
Bisa dipahami, oleh para penggunaannya.

Kriteria (standar) yang masuk akal, bisa dicapai karena bila kriteria itu terlampau tinggi atau tidak masuk akal, maka tidak akan lagi memotivasi.

Penempatan yang strategis, para manajer tidak mungkin mengendalikan segala sesuatu yang berlangsung dalam organisasi, seandainya mampu manfaatkanya tidak akan dapat menutupi biayanya.

Tekanan pada perkecualian, para manajer yang tidak mampu mengendalikan semua kegiatanya, seharus menempatkan alat pengendali strategis ditempat di mana alat itu dapat meminta perhatian hanya bagi perkecualian.

Multi Kriteria, para manajer dan karyawan akan berusaha untuk “tampil bagus” pada kriteria yang dikendalikan. Multi Kriteria mempunyai dampak positif ganda, karena lebih sulit dimanipulasi ketimbang kriteria tunggal. Kriteria tersebut dapat mengurangi usaha untuk sekedar tampil “bagus”, juga karena kinerja jarang dapat dinilai secara obyektif dari satu indikator saja, multi kriteria memungkinkan penilaian kinerja yang lebih akurat.

Tindakan koreksi, sebuah sistem pengendalian yang efektif bukan saja menunjukkan kapan terjadi penyimpangan yang berarti dari standar,    melainkan juga menyarankan tindakan apa yang harus diambil untuk membetulkan penyimpangan tadi.



















MANAJEMEN  KONTEMPORER (MANAJEMEN ABAD XXI )

Lazimnya pandangan teori manajemen dalam masyarakat mengatakan, bahwa manajer itu harus langsung bertanggung jawab dalam keberhasilan atau kegagalan sebuah organisasi. Sudut pandang ini disebut sebagai pandangan Mahakuasa terhadap manajemen sebaliknya sejumlah pengamat mengatakan, bahwa manajer itu sedikit saja pengaruhnya terhadap keberhasilan organisasi. Sebagian besar kegagalan atau keberhasilan sebuah organisasi itu disebabkan oleh kekuatan diluar kendali menejemen, sudut pandang ini diberi nama pandangan simbolis terhadap manajemen.

Pandangan Maha Kuasa


Pandangan ini mencerminkan sebuah pengendalian dominan dalam teori manajemen : mutu manajer sebuah organisasi menentukan mutu organisasi itu. Orang menganggap bahwa perbedaan efektitas dan efisiensi sebuah organisasi disebabkan oleh keputusan dan tindakan manajernya. Manajer yang baik mengantisipasi perubahan, menjajaki peluang, membetulkan kinerja yang buruk, dan memimpin organisasi menuju sasarannya (mengubah sasaran itu bila perlu). Ketika laba meningkat, manajemen menganggap itu sebagai jasanya dan memberi imbalan kepada dirinya sendiri dengan bonus-bonus, saham, dan sebagainya. Apabila laba merosot, dewan direksi mengganti pucuk pimpinan karena yakin bahwa manaejemen baru akan membawa hasil yang lebih baik. Misalnya, di Bombay Company sebuah pengecer alat perlengkapan rumah, pimpinan pelaksana tertinggi Robert Nourse dicopot dari posisinya setelah penjualan dari laba merosot dalam pertengah tahun 1990-an, dan seorang CEO baru diangkat untuk menggantikannya. Pandangan terhadap para manajer sebagai mahakuasa itu sesuai dengan gambaran stereotip tentang eksekutip bisnis yang jagoan dan suka memimpin dapat mengatasi setiap rintangan dalam mengejar sasaran organisasi itu. Pandangan mahakuasa ini tidak terbatas pada organisasi bisnis tapi dapat juga digunakan untuk membantu menjelaskan tingginya pergantian diantara para pelatih, perguruan tinggi maupun para professional. Tanpa memperdulikan keadaan yang merintanginya, jika organisasi bekerja jelek, maka seseorang dianggap bertanggung jawab (menejer). Manakala segala sesuatunya berjalan baik para manajer mendapat pujian, walaupun mereka memiliki sedikit hubunganya dengan hasil tersebut.

Pandangan Simbolis


Pandangan ini mengemukakan, bahwa kemampuan manajer untuk mempengaruhi hasil dibatasi oleh beberapa faktor luar. Tidaklah masuk akal bila mengharapkan para manajer mempunyai pengaruh yang berarti terhadap kinerja sebuah organisasi. Menurut pandangan ini, hasil sejumlah organisasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor di luar kendali manajemen. Faktor-faktor itu mencakup perekonomian, perubahan para pelanggan, kebijakan pemerintah, tindakan para pesaing dan industri tertentu, kendali terhadap pemilik teknologi, serta keputusan yang diambil oleh para manajer terdahulu dalam organisasi tersebut.


LINGKUNGAN


Istilah lingkungan merujuk pada lembaga atau kekuatan yang berada di luar organisasi dan secara potensial mempengaruhi kinerja organisasi.

Lingkungan Umum Vs Lingkungan Khusus

Lingkungan umum mencakup segala sesuatu di luar organisasi, misalnya faktor ekonomi, keadaan politik, pengaruh sosio-budaya, masalah globalisasi, dan teknologi, semua itu dapat mempengaruhi organisasi tetapi relevansinya tidak jelas. Lingkungan khusus mencakup bagian lingkungan yang secara langsung berkaitan dengan pencapaian sasaran sebuah organisasi. Lingkungan itu terdiri atas para pendukung yang sangat penting (pihak yang berkepentingan) sehingga dapat mempengaruhi efektif organisasi secara positif maupun negatif. Setiap lingkungan khusus bersifat unik dan berubah-ubah bersama keadaanya yang mencakup para pemasok masukan, klien (pelanggan), pesaing, badan pemerintah, dan kelompok masyarakat tertentu. Misalnya Lockheed Martin Corporation amat bergantung pada kontrak pertahan sehingga Departemen Pertahanan Amerika Serikat merupakan lingkungan khususnya.

Ketidak pastian lingkungan


Merupakan derajad perubahan dan kompleksitas lingkungan organisasi, segi lainya menggambarkan kadar kompleksitas lingkungan, yang mengacu kepada jumlah komponen dalam sebuah lingkungan organisasi dan sejauh mana pengetahuan yang dimiliki oleh organisasi itu tentang komponen tadi. Misalnya Hasbro Toy Company, sebuah pabrik mainan terbesar di dunia, menyederhanakan lingkungannya dengan mencaplok banyak pesaingnya termasuk Kenner Toys, Parker Brothers, dan Tonka. Semakin sedikit pesaing, pelanggan, pemasok, dan badan pemerintah yang harus digauli oleh sebuah organisasi, semakin berkuranglah ketidakpastian dalam lingkungannya.

Mengelola Disebuah Lingkungan Asing


Ada beberapa pedoman dalam mengelola organisasi disebuah lingkungan asing, yaitu :
Lingkungan Hukum politik, para manajer harus menyadari perbedaan disetiap lingkungan, apabila ingin mengetahui kendala dan peluang di tempat organisasinya. Misalnya, tiap negara mempunyai undang-undang yang berbeda dalam hal kebijakan industri, pembatasan perdagangan, persyaratan kerja, pembayaran suap, hak-hak pribadi, hak-hak kaum pekerja, dan seterusnya.

Lingkungan Ekonomi


Para manajer global mempunyai perhatian terhadap ekonomi yang tidak dimiliki oleh para manajer yang bekerja pada satu negara saja dalam hal ini ada 3 perhatian utama, yaitu nilai tukar mata uang yang berubah-ubah, laju inflasi, dan berbagai macam kebijakan. Laba perusahaan global dapat secara dramatis berubah-ubah tergantung kepada kekuatan mata uang dalam negerinya dan mata uang negara-negara dimana perusahaan itu beroperasi. Setiap devaluasi mata uang sebuah negara akan sangat mempengaruhi tingkat keuntungan sebuah perusahaan. Kekuatan mata uang suatu negara aasing dapat juga memepengaruhi keputusan para manajer. Misalnya General Motors telah mengimport Geo Stormnya ke amerika dari Jepang. Namun ketika kekuatan Yen Jepang terhadapan dolar membuat produk itu tidak ekonomis, para pejabat perusahaan memutuskan untuk menghentikan model tersebut.
Laju inflasi ekonomi dapat berbeda-beda di berbagai wilayah dunia. Misalnya dinegara-negara kecil, seperti Bolivia, inflasi tahunan telah mencapai 26.000%. Di negara-negara yang lebih besar dan lebih industrial, seperti Brazil, laju inflasi tahunan terkadang mencapai 2700%. Laju inflasi itu mempengaruhi harga bahan mentah, tenaga kera, dan pasokan lainya. Selain itu, inflasi mempengaruhi harga yang dapat dipasang oleh perusahaan terhadap barang atau jasa lainnya. Berbagai kebijakan perpajakan merupakan perhatian besar bagi seorang manajer global, di beberapa negara, tuan rumah bersikap lebih membatasi daripada negara asal organisasi itu sedangkan pada beberapa negara lainya jauh lebih ringan. Satu-satunya kepastian, ialah peraturan perpajakan itu berbeda dari pada setiap negara. Manajer membutuhkan pengetahuan tepat tentang berbagai peraturan pajak di negara-negara di mana mereka beroperasi untuk menemukan kewaajiban pajak keseluruhan perusahaan mereka.

Lingkungan Budaya


Kekuatan Lingkungan global terakhir, adalah perbedaan budaya antara bangsa. Setiap organisasi mempunyai budaya internal yang berbeda-beda, negara-negara pun mempunyai kebudayaan pula

Individualisme Vs kolektivitas

Individualisme merujuk pada sesuatu kerangka kerja sosial yang ikatannya longgar dimana orang diharapkan untuk mengurusi kepentingan mereka sendiri dari kepentingan keluarga terdekatnya. Ini dimungkinkan sebab adanya sejumlah besar kebebaskan yang diberikan oleh masayarakat semacam itu kepada individu. Lawannya kolektivitisme, yang di cirikan dengan kerangka kerja sosial ketat dimana orang mengharapkan orang lain yang berada dalam kelompok mereka menjadi bagiannya supaya mengurusi dan melindungi mereka apabila mengalami kesusahan. Sebagai imbalanya, mereka merasa harus memberikan loyalitas mutlak kepada kelompok tadi. Hofstrede, mengatakan, bahwa tingkat individualisme di sebuah negara erat kaitannya dengan kekayaan negara itu. Negara-negara yang lebih kaya, seperti Amerika Serikat, Inggris Raya, dan Nederland sangatlah individualistis. Negara-negara yang lebih miskin seperti Kolombia dan Pakistan sangat bersifat kolektif.

Jarak kekuasaan, adalah suatu budaya yang mengukur sampai sejauh mana suatu masyarakat dapat menerima ketidak merataan pembagian kekuatan dalam lembaga dan organisasi. Penghindaran ketidakpastian suatu ukuran budaya yang digunakan untuk menjelaskan sampai sejauh mana nilai-nilai sosial dipengaruhi oleh kesombongan dan materialisme. Kuantitas hidup suatu perlengkapan budaya nasional bisa menjelaskan sampai seberapa jauh nilai-nilai sosial dicirikan oleh kesombongan dan materialisme sedangkan kualitas hidup suatu perlengkapan budaya nasional bisa mencerminkan penekanan yang diberikan pada hubungan dan perhatian kepada pihak orang lain.

Pedoman bagi para manajer Amerika Serikat


Hofstrede menemukan, bahwa kebudayaan Amerika berada di tempat tertinggi di antara semua negara dalam hal individualisme, dibawah rata-rata dalam hal jarak kekuasaan, jauh dibawah rata-rata dalam hal menghindari ketidakpastian, dan jauh di atas rata-rata dalam hal kuantitas hidup. Kesimpulan ini sesuai dengan bagaimana dunia memandang Amerika itu, artinya Amerika dilihat sebagai negara yang menekankan etika individualistic, memiliki pemerintahan perwakilan dengan cita-cita demokrasi, relatif bebas dari ancaman ketidakpastian, dan mempunyai perekonomian kapitalistik yang menghargai agresivitas dan materialisme. Setelah seorang yang dipilih sebagai calon yang baik bagi sebuah posisi manajerial diluat negeri, ada beberapa faktor individual maupun organisasi yang menentukan apakah dia ini mampu atau tidak menyesuaikan diri dengan penugasan luar negeri tersebut secara efektif. Faktor-faktor individual yang dapat mempengaruhi penyesuaian internasional tersebut  adalah :
1.     Kemampuan untuk tetap bersemangat, bersikap positif, dan produktif  bahkan dalam situasi baru yang barangkali penuh tekanan dan ketegangan.
2.     Kemampuan untuk bergaul secara efektif dengan rekan kerja di negara tuan rumah.
3.     Kemampuan dengan tepat merasakan dan berpendapat dengan norma dan nilai budaya negara itu.

Sedangka faktor-faktor organisasi yang dapat mempermudah transisi tersebut mencakup pekerjaan yang dilakukan oleh orang itu, adalah :
1.     Budaya organisasi.
2.     Tingkat sosialiasi budaya organisasi tersebut.

Faktor-faktor budaya organisasi yang harus dipertimbangkan bagi transisi yang berhasil mencakup seberapa jauh budaya organisasi itu mirip dengan apa yang telah dialami orang tersebut dimasa lalu, dukungan sosial yang disediakan oleh budaya organisasi itu, dan jumlah bantuan logistik yang diberikan oleh organisasi tersebut untuk mempermudah penyesuaian itu. Faktor lain yang menentukan keberhasilan penyesuaian seseorang dengan penugasan di luar negeri adalah keterampilan-keterampilan sosialisasi organisasinya .Sosialisasi organisasi merujuk pada proses yang dialami oleh para karyawan untuk menyesuaikan dengan budaya organisasi. Transisi kebudayaan itu akan lebih mudah seandainya orang tersebut mengembangkan keterampilan sosialisasi yang efektif. Faktor lain yang mempengaruhi penyesuaian  di negeri asing yang merupakan faktor bukan kerja adalah bagaimana seorang individu secara pribadi menyesuaikan dengan barunya kebudayaan itu dan bagaimana keluarga serta pasangan hidupnya menyesuaikan diri.