Jumat, 25 Maret 2011

Perkembangan Pers Indonesia


PERKEMBANGAN PERS INDONESIA

1.      Awal Kemerdekaan (1942-1945)
Masa transisi pertama berlangsung dari tahun 1942 hingga tahun 1945, yakni selama penjajahan  Jepang. Selama periode ini situasi politik Indonesia mengalami perubahan yang radikal. Dalam era ini juga pers Indonesia belajar tentang kemapuan media massa sebagi alat mobilisasi massa untuk tujuan tertentu. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers.
Dalam masa ini surat kabar berbahasa Belanda diberangus dan beberapa surat kabar baru diterbitkan meskipun masih dikontrol  oleh Jepang. Selian itu Jepang juga mendirikan  Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia yaitu Aneta dan Antara. Selain itu surat kabar cina juga hadir dengan nama Kung Yung Pao.
Pers yang terbit pada masa ini  adalah Sinar Selatan(Semarang), Pemandangan yang berganti nama menjadi Pembangoenan, di daerah jawa muncul surat kabar Asia Raya, Tjahaja (yang merupakan gabungan dari surat kabar Nicork Expres, Sipatahoenan, Sinar Pasoendan dan Kaome Moeda), Sinar Matahari, Sinar Baru,Suara Asia, Kana-Shimbun(dengan huruf kana), Suara Muslimin Indonesia(bernafaskan Islam), Padang Nippo, Sumatra Shimbun, Fadjar Menyingsing, Palembang Shimbun, Lampung Shimbun, Seram Shimbun(berbahasa jepang), Suara Kalimantan berubah menjadi Borneo Shimbun, Pewarta Selebes  berubah menjadi Selebes Shimbun, Djawa Shimbun dan Prajoerit.
Selain itu di masa ini juga hidup beberapa majalah, diantaranya ; Pandji Pustaka, Djawa Baru, Semangat Islam, Keboedajaan dan Panggoeng Giat Gembira.

2.      Setelah Indonesia Merdeka /ORLA (1945-1959)
Pers pada era ini masih sekedar menjadi corong partai politik.   Penguasa Demokrasi Terpimpin memandang pers semata-mata dari sudut kemampuannya dalam memobilisasi massa dan opini publik. karena itu, rezim Demokrasi Terpimpin merasa perlu menguasai seluruh pers, yang dalam praktik bukannya untuk memperbaiki kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat tetapi untuk revolusi kekuasaan rezim itu sendiri.
penguasa untuk benar-benar “menjinakkan” pers di dalam cengkeraman kekuasaannya. Bagi penerbit yang tidak bersedia menandatangani perjanjian yang di buat penguasa, otomatis dilarang  melanjutkan penerbitannya. Para penanggung jawab surat kabar dan majalah yang masih ingin mempertahankan  idealismenya, kebanyakan tidak bersedia menandatanganinya dan  menutup sendiri penerbitannya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa ini penguasa lebih cenderung memperlakukan pers sebagai extension of power-nya (ekstensi dari kekuatan penguasa tersebut ). Pada masa tersebut dapat digambarkan sebagai berkuasanya pers komunis dan pers simpatisan-simpatisipannya.
Surat kabar yang ada di masa ini adalah Thaja, Soeara Asia, Berita Indonesia, Merdeka, Rakyat, Suember, Negara Baroe, Soera Oemoem, Pembangunan, Mimbar Indonesia, Independent(berbahasa inggris), Semangat Merdeka, Tjermin Masyarakat, Pasifik, Pewarta Deli, Mimbar Oemoem, Soematra Baroe, Soeloeh Merdeka, Sinar Deli, Boeroeh Merdeka, Islam Bedjoang, Free Indonesia, Vrijheid(Bahasa Belanda), Palembang Shimbun, Dll
Majalah yang muncul diantaranya Pahlawan, Dharma, Kebangoenan Islam, Menara, Bebas, Widjaja, Dll.

3.      Masa Orde Baru (1959-1998)
Pada awal pemerintahan Orde baru ini, pers mendapatkan ruang yang cukup bebas. Meskipun demikian pada tahun 1970, pemerintah mulai campur tangan dalam pemilihan ketua Persatuan Wartawan Indonesia. Pembredelan media massa yang terjadi setelah peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), mengakibatkan pers yang tadi nya kuat menjadi lemah. Pers Indonesia semakin bisa dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah setelah sebagian surat kabar dilarang terbit. Selain itu pemerintahan Orde Baru berhasil meningkatakan pertumbuhan ekonomi yang berimbas pada semakin terbukanya pasar bagi surat kabar.  Hanya saja sebagian besar pers yang dapat mengembangkan bisnisnya harus berhati-hati dalam mengutarakan pandangan politik agar tidak bertentangan dengan penguasa.

Pers dimata negara memiliki peranan sebagai pendorong kesatuan nasional dan pembangunan sambil menerapkan sistem perijinan.Pemerintah juga tidak menjamin dengan tegas kebebasan pers di Indoensia,hal ini terbukti dengan kontrol ketat pemerintah dengan mendirikan dewan pers dan PWI, selain itu pemerintah juga ikut campur tangan dalam keredaksian. Dalam pemerintahan Orde Baru ini setidaknya ada tiga macam cara yang digunakan wartawan untuk menghindari peringatan dan atau pembredeilan dari pemrintah, yaitu ; eufeumisme (mengungkapkan fakta secara sopan),  Jurnalisme rekaman (mentranskrip setepat-tepatnya apa yang dikatakan sumber berita dan tidak mengertikannya sendiri), dan Jurnalisme amplop (pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber berita).
Pada masa orde baru ini juga diketemukan adanya monopoli media massa oleh keluraga para pejabat. Hal ini tentu saja membuat sudut pandang pemberitaan yang hampir sama dan sangat berhati-hati karena takut menyinggung pemilik saham. Pada awal tahun 1990an pemerintah mulai bersikap terbuka, begitupun dengan pers meskipun tetap harus bersikap hati-hati. Keterbukaan ini merupakan pengaruh dari perubahan situasi politik di Indonesia dan juga tuntutan pembaca kelas menengah yang jumlahnya semkain banyak di Indonesia.
Surat kabar yang ada pada masa ini yaitu; Pedoman, Nusantara, Post Indonesia, Bintang Timur, Warta Bhakti, Surabaya Post, Harian Rakyat, Revolusioner, Merdeka,Angkatan Bersenjata, yang di iringi dengan munculnya surat kabar di beberapa daerah di Indonesia.
4. Era  Reformasi.
            Pers Indonesia mengalami perkembangan yang pesat setelah era reformasi. Bersamaan dengan turunnya Suharto, pers Indonesia memasuki babak baru dengan dibukannya pintu kebebasan. pers Indonesia menikmati kebebasannya setelah bertahun-tahun berada di bawah pimpinan pemerintah yang otoriter. Hal ini membuktikan, bahwa pers merupakan tolak ukur demokrasi di sebuah Negara. Kalau persnya bebas, maka demokrasi di negara tersebut berjalan dengan baik. Sejalan dengan kebebasan pers, maka demokrasi di Indonesiapun mulai berkembang. Pintu kebebasan pers sebenarnya dimulai ketika pemerintah Presiden Habibie – yang menggantikan Suharto – melalui Menteri Penerangan M Yunus Yosfiah menghapuskan SIUPP (Surat Ijin Penerbitan Pers) pada tahun 1998. Hingga  akhirnya aturan itu dihapus sama sekali.
SIUPP dianggap sebagai momok pers Indonesia, karena pemerintah bisa membredel sebuah media dengan cara mencabut SIUPP-nya. SIUPP adalah bukti kebijakan represif pemerintah terhadap pers. Padahal, kebijakan tersebut bertentangan dengan UU Pokok Pers yang menyatakan pemerintah tidak bisa membredel pers. Inilah bentuk arogansi pemerintah yang mengabaikan UU untuk melanggengkan kekuasaan. Pemerintah menganggap kebebasan pers bisa membahayakan pemerintah. Kebijakan membuka kebebasan pers itu kemudian diikuti presiden berikutnya, KH Abdurahman Wahid yang membubarkan Departemen Penerangan.
Dengan dihapusnya SIUPP, pers Indonesia kemudian berkembang pesat. Siapa saja bisa menerbitkan koran, tabloid, majalah dan media lain, tanpa harus melewati aturan yang berbelit, cukup dengan membentuk badan usaha. Maka bermunculanlah berbagai macam media cetak dengan bermacam isi. Berita-berita yang sebelumnya dilarang untuk diberitakan, kini tidak  dilarangan lagi. Masalah yang berkaitan dengan SARA dan masalah pribadi bisa jadi konsumsi berita. Pers pun ramai memberitakan masalah pribadi seorang pejabat. Bukan itu saja, informasi yang tak jelas pun bisa menjadi berita. Tak jelas berapa jumlah media yang terbit pasca-penghapusan SIUPP itu, tapi diperkirakan mencapai angka 900. Kebanyakan diantaranya berbentuk tabloid mingguan yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.
Pers Indonesia mengalami eforia merayakan kebebasannya, setelah sebelumnya dikekang oleh pemerintah. Ratusan media itu berlomba untuk membuat berita yang menarik untuk disuguhkan kepada masyarakat. Masayarakat pun antusias menyambutnya, karena mereka haus berita-berita yang berani menyerang pemerintah. Selama ini mereka ingin tahu berita yang datang dari pemerintah. Setelah kebebasan diperoleh, pers bergerak sangat cepat. Masalah yang sebelumnya tidak boleh diberitakan, tanpa ada halangan lagi bisa dimuat dengan lengkap dan jelas, tanpa ada yang melarang. Era 1998 – 2000 adalah saat pers Indonesia menikmati kebebasan dengan sebebas-bebasnya. tanpa ada yang mengontrol. Media yang berani itu kemudian berkembang pesat. Sebuah tabloid Oposisi di Surabaya mencapai tiras yang fantastis, 1.000.000 eksemplar sekali terbit. Hebatnya lagi, tabloid ini dicetak serentak di berbagai kota, Surabaya, Jakarta, Solo, Medan, Makassar dan kota besar lainnya.
Pers harus bisa menyesuaikan  hukum pasar yang berlaku. produk media dalam bentuk berita akan selalu dibutuhkan oleh masyarakat, maka media itu akan mampu bertahan untuk jangka waktu lama. Karena, tidak ada media yang bisa hidup tanpa pembaca. Dan media yang bisa menjaga existensinya adalah media yang kredibilitasnya dipercaya oleh masyarakat atas informasi yang di beritakan nya.
Di era reformasi ini surat kabar sangat banyak. Setiap daerah mempunyai surat kabar masing-masing. Seperti hal nya di Kalimantan Selatan ada surat kabar Banjarmasin Post, Barito Post, Mata Banua, dan banyak lagi surat kabar lainnya. Hal ini menunjukan bahwa kebebasan pers akan membuat orang beramai-ramai membuat berita atau informasi lainnya. Selain itu masyarakat juga membutuhkan surat kabat untuk mendapatkan   berbagai informasi baru, tidak hanya berita lokal, tetapi melalui surat kabar masyarakat juga dapat menperoleh informasi dunia.




DAFTAR PUSTAKA
Aly, Bactiar.2000.Sejarah Media Massa.Jakarta;Univertsitas Terbuka.
Effendy, Onong Uchada.2003.Imu, Teori dan Filsafat Komunikasi.Bandung;Citra Aditya
       Bakti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar